Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menemukan Pembelajaran dari Kasus Habibi dan Erfas

23 September 2014   10:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_361066" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi matematika/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Saya guru SD yang tergelitik menulis mengenai keributan di dunia maya karena arogansi mahasiswa Tehnik Mesin Universitas Diponegoro di buku PR Matematika adiknya. Jujur saja, membaca tanggapan banyak orang mengenai kasus itu termasuk didalamnya tanggapan dari dinas pendidikan membuat gatal mata dan tangan dan juga pemikiran saya.

Bagi si mahasiswa UnDip IPK 2.9, nilai matematika adik 20 itu kalau dia yang mengajarkan memalukan. Padahal, pertanyaannya, apakah ia menyadari benar tujuan pembelajaran matematika si adik tersebut. Yang saya lihat, mungkin menyadarinya belakangan sesudah jadi ribut di media sosial. Minta maaf belakangan sementara, gurunya si adik sudah dibully rame-rame.

Puas mas Erfas???

Saya tidak menyalahkan Mas Erfas sih mempertanyakan bu guru. Saya sendiri sebagai guru SD punya keputusan,

1. Tidak ada PR yang saya bawakan pulang sebelum saya terangkan. Ini penting sekali, karena tidak semua anak mempunyai orang tua yang bisa membantu belajar di rumah, dan tidak semua orang tua mampu menerangkan mau dikemanakan materi tersebut. Penjelasan  dari sudut pandang ibu rumah tangga dari artikel lain mempertegas kebijakan saya tersebut. Resikonya adalah, saat saya sudah menjelaskan materi tersebut dan ananda membawa pulang PR maka ananda sudah tahu cara mengerjakannya walaupun tidak ada yang membantu.

2. Tidak memberikan penilaian angka untuk PR. Kenapa tidak dinilai, karena itu PR. PR adalah latihan tambahan, menjadi evaluasi untuk saya, apakah ananda sudah mengerti dan mengingat dengan baik konsep yang saya terangkan. Kalaupun benar semua, kadang saya suka bertanya, kerjain sendirikah? Kenapa? Karena kadang kala PR itu dikerjakan guru les, orang tua, kakak atau bahkan Nanny-nya. Kadang PR itu dibahas. Jadi anak tahu bagaimana pengerjaannya. Kalau terjadi seperti kasus Habibi, maka saat pengecekan akan terlihat, "Bu, kalau jawabannya begini bagaimana?" Jawaban saya adalah, "boleh, tetapi, bukan yang tepat. Cara kamu itu akan dibahas nanti di kelas mendatang. Kalau mau tahu, istirahat kekantor, Ibu jelaskan." Tidak jadi lebar dan membesar seperti kasus Habibi ini. Kelas 2 SD belum belajar komutatif, mbak-mbak dan mas-mas. Please dah.

3. Saya juga memberikan les privat. Kebijakan yang sama saya berlakukan untuk murid les saya. Selalu saya tanyakan, bagaimana di sekolah diajarkan? Coba kerjakan sendiri dulu! Sementara anak mengerjakan saya membaca buku pelajarannya, supaya saya memahami maksud si guru. Guru privat/bimbel seyogyanya tidak mengulik atau mengajari cara baru. Bukan karena salah, tetapi, guru sekolahnya kan mengikuti pattern yang diberlakukan. SD bukan SMP atau SMA apalagi mahasiswa yang sudah mempelajari banyak cara. Di sisi lain, cara mudah menurut pikiran kita, belum tentu mudah di pemikiran anak.

Masalahnya,

1. Apakah guru SD si Habibi itu memberikan PR yang sudah diterangkannya?

2. Apakah Habibi mempunyai buku matematika pegangan yang bisa dijadikan acuan? Membayangkan Mas Erfas yang mengajarkan tanpa acuan dan diberi nilai 20, saya sih melihat kemarahannya sampai menguploadnya di FB itu sah dan wajar.

Salah siapa si Habibi tak punya buku acuan?

Apakah benar gurunya Habibi belum ditatar kurikulum 2013?

Apakah di sekolah Habibi menggunakan kurikulum 2013?

Apakah guru Habibi teksbook oriented?

Penjelasan calon doktor fisika di kompasiana hanya tepat dijelaskan bagi orang dewasa. Mungkin mas Erfas puas banyak pendukungnya, jadi popular, dan dianggap cerdas dan kritis. Apakah cerdas dan kritis itu seperti itu?

Saya mengajar privat, kadang kala juga sesak nafas kalau murid les saya PRnya disalahkan semua seperti adik mas Erfas, tapi, kembali pada tujuannya, apakah nilai saja, ataukah ada hal yang terlewatkan buat murid saya. Kadang juga ada missing link. Seperti, di sekolah diterangkan, tetapi dengan bermain, dan tidak diberikan paper work/kertas tugas. Wajar si adik merasa belum dijelaskan. Dia merasanya main kok. Nah kan? Bagaimana itu? Bisa jadi juga. Sebab itu penting bahwa saat bermain dalam menjelaskan konsep, diingat untuk memberikan latihan tertulis dan dijelaskan kembali.

Anak kan nangkapnya main doang. Mana mikir bahwa mainnya itu ada tujuan belajar?

Sebab itu, waktu mengajar kelas 2 SD, saya jarang duduk kalau sudah memberikan latihan. Keliling, memastikan memang bermainnya punya makna belajar buat si anak.

Kalau tidak? main ya main. Ujung-ujungnya, merasa tidak diterangkan, tidak mengerti, abang turun tangan dijawabkan, salah semua masuk sosmed, gurunya juga jadi kesal pastinya.

Menyalahkan yang satu dan membenarkan yang lain bukan pilihan buat saya. Menarik hikmah dan mencari solusi, baru layak dibagikan. Temukan missing link-nya dan perbaiki. Itu adalah yang patut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun