Dalam acara nangkring peluncuran buku saya dan Kang Rifki 15 Agustus lalu, seorang sahabat sempat mengutarakan pada saya, "Lha itu kue kroketnya ditusukin cabe gitu sama anak kecil yang itu? Udah males mau makannya."
Sayang juga kroket tersisa banyak akhirnya tidak termakan karena dibuat mainan, sama dengan cemilan yang dilempar-lempar ke lantai sementara ada di sudut lain anak seumur bisa menahan diri dan duduk atau bermain dengan tenang.
Makanan adalah makanan. Tersia-sia setelah ada di lantai. Murah mungkin, cuma potato chips, tetapi perilaku ini penting kita biasakan pada anak untuk menghargai makanan.
Mungkin, ada baiknya kita juga sebagai orang tua tak hanya memikirkan hal-hal yang akademis bagi anak, namun juga perilaku di tempat umum, sikap pada sumber daya (tidak membuang-buang makanan), dan sikap menghargai lingkungan (jadi kotor kan lantainya).
Penting membiasakan sejak dini, anak menghargai makanan, karena dalam kegiatan Nangkring sponsor seperti Deltomed, MRT, BKKBN, Manulife, Sunlife, kompasianer sering dijamu dengan makanan yang beraneka. Sayangnya, kadang kala, saat saya menemukan meja sudah kosong, beberapa piring menyisakan makanan, dan masih ada rekan kompasianer yang belum makan.
Kebiasaan menyisakan makanan, atau mengambil makanan berlebihan ini sebenarnya bukannya semata-mata karena baru terbentuk melihat makanan banyak, tetapi, karena tidak dibiasakan sejak kecil.
Membaca kutipan ini 17 September 2014 di FB mbak Tytiek, sahabat kompasianer, sudah lama sekali ingin saya bagikan, namun belum juga menemukan momen. Namun, acara Nangkrng Parenting dan perilaku Batita tersebut mengingatkan saya untuk membagikan ini,... _______
Cerita dari Jerman soal perlunya menjaga lingkungan
Jerman adalah sebuah negara industri terkemuka. Di negara seperti ini, banyak yang mengira warganya hidup foya-foya. Ketika saya tiba di Hamburg, saya bersama rekan-rekan masuk ke restoran. Kami lihat banyak meja kosong. Ada satu meja di mana sepasang anak muda sedang makan. Hanya ada 2 piring makanan & 2 kaleng bir di meja mereka. Saya bertanya dalam hati apa hidangan yang begitu simple dapat disebut romantis & apa si gadis akan meninggalkan si pemuda kikir tersebut? Kemudian ada lagi beberapa wanita tua di meja lainnya. Ketika makanan dihidangkan, pelayan membagi makanan tersebut & mereka menghabiskan tiap butir makanan yang ada di piring mereka.
Karena kami lapar, rekan kami pesan lebih banyak makanan. Saat selesai, tersisa kira-kira sepertiganya yang tidak dapat kami habisin di meja. Begitu kami hendak tinggalkan restoran, wanita tua yang dari meja sebelah berbicara kepada kami dalam bahasa Inggris, kami paham bahwa mereka tidak senang kami memubazirkan makanan. "Kami yang bayar kok, bukan urusan kalian berapa banyak makanan yang tersisa," kata rekanku kepada para wanita tua tersebut. Wanita-wanita itu meradang. Salah satunya segera mengeluarkan HP & menelepon seseorang. Sebentar kemudian seorang lelaki berseragam Sekuritas Sosial pun tiba. Setelah mendengar tentang sumber masalah pertengkaran, ia menerbitkan surat denda Euro 50 pad kami. Kami semua terdiam..
Petugas tersebut berkata dengan suara yang galak, “PESAN HANYA YANG SANGGUP ANDA MAKAN, UANG ITU MILIKMU TAPI SUMBER DAYA ALAM INI MILIK BERSAMA. ADA BANYAK ORANG LAIN DI DUNIA YANG KEKURANGAN. KALIAN TIDAK PUNYA ALASAN UNTUK MENYIA-SIAKAN SUMBER DAYA ALAM TERSEBUT.”