Ribut-ribut mengenai tulisan rekan Mawalu, di FB kang Pepih, membuat saya sebagai umat Kristiani berpikir dan teringat statement dosen konseling saya, yang juga kompasianer. Dulu dia aktif sekali menulis di Kompasiana, dan memberikan link pada kami mahasiswanya untuk dibaca, cuma saya tidak tahu waktu itu bahwa sayapun bisa nulis di sini. Padahal, waktu itu saya punya id kompas juga.
Jadi, kembali pada statement beliau saat kami belajar konseling, bahwa ada kecenderungan kita mudah untuk bertestimoni, memberikan kesaksiaan saat kita diberi berkat, atau keberhasilan. Bagaimana saat kita mengalami penderitaan? Bagaimana kita melalui kegagalan? Seharusnya kita berani menceritakannya sehingga kita tidak berat sebelah.
Saya teringat kisah dalam kitab suci saya, mengenai Yusuf. Kisah beliau dikisahkan bukan separuh-separuh saja, dimana beliau jadi wakil Firaun, tetapi, mulai dari sifat pengadunya (yang membuat saudara-saudaranya kesal), sifat manusiawinya (yang pesan ke tukang minuman Firaun supaya diingat kalau sudah keluar penjara) dan juga perjalanan keberhasilan itu bukan sepotong saja.
Ada karakter, sifat, watak yang diperlihatkan dalam kisah tersebut.
Bagaimana dengan testimoni tersebut? Sampai hari ini, saya masih melihat beberapa teman membahas di status FB masing-masing. Entah mereka Kristiani maupun yang tidak.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada pemberi testimoni, dalam testimoni yang ditayangkan rekan Mawalu secara tertulis di kompasiana memang saya melihat adanya (maaf, opini saya) kesombongan terselubung.
Kisah mengenai penglihatan dan sebagainya, bukan saya tidak percaya, namun saya sebagai Kristiani mungkin akan membuat testimoni ini saja,
"Saya bersyukur bahwa ketika saya telat bangun, ternyata saya tertinggal pesawat dan bisa tetap hidup."
Kenapa sesingkat itu? Kenyataannya memang demikian. Faktanya demikian. Masalah penglihatan segala, adalah hal privat, hal pribadi, yang bila dipaparkan mengurangi makna dari testimoni tersebut untuk kebesaran TUHAN. Adanya sih, jadi meninggikan diri. (mungkin saya salah)
Bayangkan, manusiawinya pembuat testimoni itu,
1. terlambat bangun, padahal sudah tahu akan pergi. Rasanya menurut saya hal tersebut menunjukkan kurangnya niat. Ngga niat. Ya sudah.
2. melalui beberapa media, penumpang yang gagal berangkat itu kan marah-marah, kenapa yang diblow up bukan sisi manusiawi itu.
Seolah teman-teman yang terbang dan akhirnya menghadap sang Illahi bukanlah orang-orang yang dikasihiNYA.
Saya jadi teringat pada suatu quote: Berharga di hadapan TUHAN, kematian orang-orang yang dikasihiNYA"
Saya percaya bahwa mereka yang dipanggil sudah saatnya pulang, dan yang selamat, jangan bersenang senang dulu, karena hidup ini harus dijalani dengan bertanggung jawab.
Turut berduka bagi keluarga penumpang Air Asia. Tiada kata duka yang bisa menggantikan yang sudah pergi, namun doa saya semua tetap tabah dan kuat.
Salam hangat,
Maria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H