Kemarin sore, salah seorang 'tim sukses' dari sebuah partai islam menyambangi rumah. Tujuannya, tak lain tak bukan , tentu saja bagi bagi uang.
Uang 20ribu rupiah itu disodorkan. Kemudian si 'timses' yang satunya menyodorkan kertas guna tanda tangan. Sebagai serah terima atau semacam perjanjian hitam di atas putih. * duit 20ribu aja pake tanda tangan segala*.
Mamaku sih terima terima aja, karena sebenarnya, mamaku juga 'nampung' duit dari partai lain (semua partai). Ya lagian hari gini, kalau calegnya saja hobi ingkar janji, kenapa rakyatnya ga boleh ngibulin.
Mamaku sempat ngomong ke si 'timses'.
Mama : ' sebenernya, bagi bagi duit ngene ku dosa'
Timses : 'wah, ya ora lah mba, iki namane sodaqoh'
* cekikikan gue dengar ini, sodaqoh. lol *
Mama : ' eh mbak, kyaine oleh ora?'.
Timses : ' ya jelas lah mbak '.
Mama : ' piro? Limang atus ewu oleh?'.
Timses : ' ya luwih mbak. Limang atus ewu mah sithik '
Mama : ' jutanan? '.
Timses : ' ya sekitar 4/5 jt'.
Saya yang ngedengerin cuma mesem mesem. Padahal ini baru tingkat kampung. Gimana yang di kota.
Bukan hal yang aneh memang hal semacam ini terjadi. Sudah jamak. Ibaratnya, pemilu tanpa uang sogokan rasanya kurang lengkap.
Tapi, kyai atau ulama yang harusnya menjadi contoh. Yang biasa berdalil tentang hadits. Yang biasa menjabarkan itu dosa ini pahala tentang segala sesuatunya, malah ikut makan uang panas juga.
Ya, mungkin logikanya, kyai kan masyarakat juga. Yang lain juga dapet duit, kenapa dia engga. Tapi ya itu, masa masyarakat umum cuma 20ribu, kyai dapet jutaan. Kan ga adil. Hehehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H