Mohon tunggu...
Hendrie Santio
Hendrie Santio Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Serabutan

Seorang Serabutan yang mencoba memaknai hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Momentum Disertasi Abdul Aziz untuk Menanggapi Pasal Zina dalam RKUHP

5 September 2019   18:36 Diperbarui: 5 September 2019   18:39 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (shutterstock)

Suatu siang saya kala sedang membuka sebuah media online, saya dibuat terkejut oleh sebuah headline berita tentang disertasi seks di luar nikah yang diujikan di sebuah Universitas Islam terkemuka di Indonesia. 

Betapapun tidak religiusnya saya, headline beserta isinya tentu sangat membuat geger saya sebagai orang Indonesia dimana hal-hal yang berkaitan dengan seks selalu menjadi barang tabu di muka publik. 

Setelah membaca dan memahami konteks daripada berita dan disertasi yang dimaksud, tidak ada hal yang teramat kontroversial karena sang penyusun disertasi  hanya bermaksud menguliti pemikiran yang melandasi tafsir tersebut. 

Yang menjadi masalah adalah karena tema tersebut telanjur ditelaah masyarakat sebagai hal yang kontroversial, maka berita tentang disertasi yang kabarnya lulus dengan memuaskan tersebut mengundang reaksi negatif publik. 

Beberapa ahli agama termasuk Majelis Ulama Indonesia sudah menyatakan menolak total kesimpulan dari disertasi tersebut sementara di akar rumput kabarnya hingga mengecam sampai ke ranah privat yang bersangkutan. Kesimpulannya, nilai agama telanjur dilihat sebagai kacamata absolut oleh sebagian besar masyarakat tanpa membuka ruang berpikir kritis. 

Berangkat dari momentum kehebohan disertasi ini, patut dikritisi pula rencana untuk mengkriminalisasi seks konsensual yang dilakukan di luar nikah dalam RKUHP terbaru. 

Sebagai orang Indonesia, saya paham bahwa keenam agama yang diakui oleh negara sangat keras menolak tindakan ini. Hanya saja menjadi sangat tidak tepat memasukkan tindakan seks di luar nikah (tanpa unsur paksaan) sebagai tindak kejahatan.

Menurut definisi kejahatan oleh R.Soesilo, kejahatan adalah tindak laku yang merugikan baik penderita maupun masyarakat umum berupa hilangnya hak mendapat rasa aman. 

Menilik KUHP yang sekarang, sebetulnya pengakomodasian zinah sebagai tindak kejahatan masih dalam tahap wajar dengan mempertimbangkan adanya hak suatu pihak yang terampas dari akibat perbuatan tersebut. 

Saya masih amat maklum apabila zinah sebagai kejahatan dalam pernikahan ataupun kejahatan terhadap anak di bawah umur mendapat sanksi kurungan. Namun dengan mempertimbangkan adanya miskonsepsi antara menghilangkan hak publik dengan hubungan seks berdasarkan kesepakatan (termasuk dengan penjaja jasa seks), perluasan pasal zinah ini kehilangan konstruksi logika hukumnya.

Pertama, tujuan hukum dibentuk untuk menciptakan keteraturan di masyarakat sehingga hakekatnya hukum harus bersifat objektif. Dengan memperluas pasal zina untuk hubungan konsensual, hukum pidana seolah dikonstruksi untuk mengakomodasi tuntutan subjektif seperti standar moral yang belum tentu disepakati oleh semua orang. 

Sudah menjadi semacam kebiasaan tindakan pengerebekan baik yang dilakukan oleh pihak berwenang maupun masyarakat biasa terhadap aktivitas yang lazimnya dilakukan di balik pintu ini. 

Adanya pemidanaan bagi aktivitas ini dapat menimbulkan efek psikologis berupa rasa bersalah yang amat berlebihan bagi mereka (orang yang didatangi). Untuk kasus ini, pidana akan lebih tepat dikenakan jika ada tindakan-tindakan yang dianggap merugikan salah satu pihak seperti tindakan stealthing (baca di sini). 

Kedua, pemidanaan orang yang terlibat dalam aktivitas ini juga tidak sesuai dengan prinsip restorative justice yang justru ingin digugu oleh pembaruan KUHP ini. Restorative Justice merupakan usaha-usaha memperbaiki akibat dari tindakan (kejahatan) dengan kesepakatan alih-alih pembalasan atau retaliasi. 

Sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar dengan persetujuan bersama, konsep akibat atau kerusakan dengan sendirinya menjadi nihil di kasus ini. 

Gantinya, pendidikan seks dengan memperlihatkan sisi psikologis dari munculnya suatu hubungan idealnya lebih tepat diampu oleh negara ketimbang memberikan hukuman kurungan manakala pengajaran agama dirasa kurang kuat menangkal ekses negatif yang mungkin muncul dari kejadian ini. 

Semoga Mencerahkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun