Kampanye sesungguhnya adalah sarana kandidat untuk memperkenalkan dirinya dan program bawaannya dalam penyelenggaraan pemilihan umum menurut azas demokrasi.
Tiap-tiap kandidat dipersilahkan untuk mencari metode dan strategi yang menurutnya teramat baik untuk meyakinkan calon pemilih agar dapat memilih mereka. Karena sifat demokrasi sangat mengedepankan nilai komunalitas, maka tak jarang tiap-tiap kandidat melibatkan individu-individu lain atau beberapa kelompok yang sepaham dalam hal ideologis dan nilai untuk membantu mereka dalam proses kampanye.
Begitupun dengan pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia di mana tiap-tiap kandidat pemegang kekuasaan yang dipilih konstituen masing-masing memiliki tim sukses dan tentu saja relawan.
Fenomena pergerakan relawan menjadi unik karena bukan saja ia tidak selalu terikat oleh struktur tim sukses yang langsung bertanggung jawab kepada kandidat namun juga memiliki kebebasan dalam menentukan metode apa yang akan dikemukakan dalam masyarakat untuk melakukan persuasi kepada calon pemilih.
Pada titik inilah citra demokrasi dari suatu negara penyelenggara pemilihan umum akan diuji yaitu bagaimana narasi-narasi yang dibangun oleh relawan-relawan yang sifatnya terlokalisir apakah mengedepankan etika sosial dan hukum atau menggunakan cara-cara yang destruktif seperti isu-isu SARA atau fitnah (Dialektika Relasional Kampanye oleh Gun Gun Heryanto, Harian Kompas 16 Oktober 2018).
Mengacu kepada narasi ini, kita mendapati fakta bahwa narasi-narasi yang dikembangkan oleh para relawan dari masing-masing kandidat ternyata tidak sepenuhnya bebas dari isu-isu primordial yang jorok dan tidak mendidik proses berdemokrasi kita alias kampanye hitam.
Contoh termuktahir dari penggunaan kampanye hitam ini adalah keterlibatan Ibu-Ibu atau emak-emak relawan tim 02 di Karawang yang berkampanye tentang larangan azan dan legalisasi pernikahan LGBT serta hoax penghapusan ajaran agama oleh seorang Ibu di daerah Sulawesi Selatan
"Relawan Kamikaze"
Kampanye hitam memang merupakan sebuah sisi gelap dari demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat. Penggunaan kampanye hitam pada dasarnya adalah melanggar hukum positif dan otomatis membawa konsekuensi hukum bagi para pelaku kampanye hitam tersebut.
Di Indonesia, penggunaan kampanye hitam termasuk ke dalam pelanggaran hukum yang termaktub ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 390 dan Undang-undang ITE yang dianggap kontroversial. Namun hukum pidana positif ternyata bukanlah pintu akhir bagi kampanye hitam, temuan kampanye hitam yang dilakukan oleh para relawan ibu-ibu tersebut tidak dapat dicegah dengan hukum positif.
Situasi inilah yang melahirkan istilah fenomena "relawan kamikaze" yang merupakan ameliorasi atau penghalusan makna dari pasukan (relawan) yang berani mati demi tercapainya tujuan (kemenangan kandidat yang diusung). Kamikaze sendiri yang bermakna literal angin dari dewa ini merupakan istilah yang dipopulerkan oleh pasukan imperial Jepang pada perang dunia untuk menamai pasukan angkatan udara untuk melakukan serangan bunuh diri terhadap lawan pada masa masa akhir perang dunia kedua.