catatan : Bagi para pendukung paslon no 2 dan 3 tulisan ini boleh disebarluaskan untuk menghasilkan diskusi dan koreksi apabila saya salah, akan lebih baik lagi jika tulisan ini bisa sampai kepada Bapak Anies Baswedan sendiri sebagai kritik terhadap (calon) penguasa
Program DP rumah 0 rupiah kembali mencuat di pemberitaan media massa setelah gubernur BI Agus Martowardjojo ikut mengomentari program tersebut dan menyimpulkan bahwa program tersebut bertentangan dengan asas kehati-hatian otoritas keuangan tersebut terutama dalam soal menjaga aliran keuangan daerah tetap sehat, saya setuju program tersebut butuh dikaji ulang namun ada masalah fundamental yang lebih menyentil dibanding hanya permasalahan DP 0 rupiah yang hanya menyentuh domain logis rakyat DKI Jakarta. isu itu adalah tentang merawat kebhinekaan di Jakarta.
Tepat pada hari pertama di tahun 2017, Anies Baswedan berkunjung ke markas Front Pembela Islam (FPI) bertemu dengan Habib Rizieq yang kemudian dikabarkan untuk membahas pelurusan isu yang menerpa dirinya seperti isu Syiah, kejawen, dan lainnya yang jauh dari ranah yang penulis kuasai. Pandji Prawigaksono selaku juru bicara tim pemenangan Anies-Sandi kemudian mencoba membendung kontroversi kedatangan Anies Baswedan ke markas FPI dengan mengatakan bahwa Anies Baswedan juga turut hadir dalam  pertemuan dengan pemuka-pemuka agama lain seperti Agama Kristen Protestan, Katholik dan sebagainya yaitu pada tanggal 19 Desember 2016 ketika Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berkunjung ke dewan pengurus PGI untuk mensosialisasikan programnya.
Melihat dari inisiatif-inisiatif yang dilakukan terutama oleh bapak Anies, ekspektasi yang bisa ditarik oleh para calon pemilih menegaskan bahwa Anies bisa saja benar-benar menjadi gubernur yang membuat Jakarta maju bersama seperti yang beliau dengungkan selama ini. namun periode setelah kunjungan Anies Baswedan ke FPI yang bersejarah itu mulai terlihat kecenderungan Anies memainkan atau mengedepankan politik identitas.Â
Tidak adanya kunjungan Anies-Baswedan terhadap masyarakat minoritas Tionghoa ataupun masyarakat agama lain mungkin bisa diperdebatkan sebagai strategi kampanye atau bukan, namun arah kebijakan Anies untuk mengungkap masalah politik identitas yang dibungkus pengedepanan akhlak ini dimulai dari debat resmi pilgub DKI pertama yang menyinggung tentang Alexis, prioritas fasilitas kesehatan kelas 1 untuk para ulama dan marbot masjid yang diungkapkan beliau pada saat perayaan Maulid Nabi yayasan Addiniyah Attahiriyah.
Wacana hiburan malam syariah yang mengedepankan pengajian, taaruf, dan tarian ala sufi-sufi ala timur tengah yang dapat dikorelasikan dengan wacana akan ditutupnya tempat hiburan malam konvensional, penegasan untuk hanya memilih pemimpin muslim di acara mata najwa yang dipertegas dengan ikut berpartisipasi dalam aksi 112 untuk memilih pemimpin muslim, berkhotbah di sholat subuh untuk memilih pemimpin muslim, dan mengedepankan acara-acara religi seperti festival budaya islam, pembebasan lapangan monas untuk kegiatan keagamaan seperti shalat jumat dan lain-lain yang dapat ditafsirkan sebagai upaya meraih suara basis islam konservatif. Entah ada hubungannya dengan kunjungan ke markas FPI atau tidak, serangkaian janji kampanye ini dikhawatirkan akan menggugurkan ikhtiar merawat perbedaan menjadi satu dalam kebhinekaan ketika beberapa kota di Indonesia turut merayakan festival cap go meh. Janji kampanye yang banyak mengakomodir kepentingan kelompok dan lapisan masyarakat tertentu ini justru tidak sinkron dengan tagline kampanye beliau : "Jakarta Maju Bersama".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H