Risti mempercepat langkahnya. Bunyi langkah kaki yang menggema di belakangnya di lorong itu seakan menjadi bahan bakar kedua kakinya. Semakin cepat ritme langkah kaki itu menggema, maka ketukan sepatu hak tinggi ke atas jalan yang terbuat dari semen itu akan mengikutinya. Seperti dua orang yang sedang berdansa.
Dia tak habis pikir mengapa dia bisa berada disini, di tempat yang tidak ia kenali, dan jelas tidak ia sukai. Terutama dalam kondisi seperti ini. Lorong ini seperti tiada habisnya, dan suara menggema itu mulai menggantung di benaknya. Dia lalu berusaha mengalihkan pikirannya dengan mencoba memikirkan mengenai mengapa ia bisa berada disini lebih lanjut.
Hal yang terakhir yang dia ingat dengan jelas adalah dia sedang berjalan pulang, setelah turun dari stasiun metro, untuk kembali ke apartemennya yang baru saja ia tempati dua bulan belakangan. Perpindahan ini tak begitu disukainya, karena dia sudah betah tinggal di Palembang, kota kelahirannya. Tapi ketika memikirkannya lebih lanjut, bisa jadi dia akan betah tinggal dimanapun itu sebelumnya.
Karena dia menyukai hal yang monoton dan dia tidak begitu menyukai perubahan. Tapi tugas memanggilnya kesini. Dan bagaimana orang-orang yang mengenalnya sering mengatakan bahwa dirinya adalah penggila kerja. Bagaimana dia akan lembur sampai larut malam apabila ada pekerjaan, apapun itu, bahkan pekerjaan yang bisa dilakukannya esok hari.
Gema langkah kaki yang semakin keras terdengar lalu membuyarkan pikirannya. Tapi sedikit banyak telah mengingatkan dirinya akan apa yang ia kerjakan selama ini. Dan lalu ia mengumpulkan keberaniannya untuk berhenti dan menoleh ke belakang dengan cepat. Kenapa ia mesti takut dengan langkah kaki itu? Ia telah dilatih beladiri semenjak hari pertama ia masuk ke kepolisian.
Risti telah mempersiapkan diri seandainya si pemilik gema suara langkah itu akan melangkah semakin cepat untuk menyergapnya. Namun ketika ia melakukan itu, suara langkah itu terhenti, dan tak terlihat adanya suatu apapun di hadapannya. Penerangan yang tidak begitu baik di lorong itu tidak banyak membantunya untuk melihat lebih jauh.
Ia tetap menjaga kewaspadaannya dan menunggu beberapa saat lamanya. Dan setelah detik-detik keheningan yang terasa begitu tebal merambat pelan di telinganya itu berlangsung seakan beberapa menit lamanya, ia membalikkan badannya untuk kemudian melanjutkan langkah kakinya untuk pulang. Ia lalu teringat, ketidaksukaannya akan keramaianlah yang membawa langkah kakinya kesini.
Sebelumnya ia menemukan orang banyak yang berkerumun sampai menutupi jalanan yang biasanya ia lewati untuk kembali pulang ke apartemennya di bilangan barat Jakarta itu. Sepertinya ada orang yang tergeletak di tengah jalan, karena ia dapat melihat kaki yang terkulai dari sela-sela kumpulan orang tersebut. Anehnya naluri polisinya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Alih-alih dia malah memilih rute lain untuk menghindari kerumunan orang-orang itu. Rute yang tidak ia kenali sama sekali. "Pilihan yang bodoh, Risti," ujarnya kepada diri sendiri.
Lalu entah mengapa kepanikan merambati benaknya lagi. Bagaimana jika kaki yang terkulai di atas jalanan itu memang sudah tidak lagi ditinggali nyawa seseorang? Dan bagaimana jika, memang benar orang itu dibunuh atau terbunuh, pelakunya adalah si pemilik gema langkah kaki yang tadi sempat membuatnya takut?
Ia menjadi takut kembali ketika memikirkannya. Dan seakan mengamini apa yang ia pikirkan itu, suara langkah kaki itu terdengar kembali, lebih keras dari sebelumnya. Tak lagi menoleh ke belakang, Risti langsung berlari sekuat tenaga yang ia bisa. Namun suara itu terdengar semakin keras dan semakin keras, sampai ia seakan merasakan hembusan napas di tengkuknya.