Pekiknya tertahan seiring terantuknya sepatu hak tingginya karena jalanan yang tidak rata itu. Dengan refleks ia berusaha menahan sebisa mungkin untuk menahan laju terjerembabnya, menyebabkan posisinya berada dalam keadaan merangkak. Segera ia membalikkan badan supaya ia berhadapan dengan si pembunuh itu.
Tubuh besar milik seseorang yang memakai jas panjang menutupi cahaya penerangan yang memang tak begitu baik itu, menyebabkan kegelapan menutupi seluruh tubuh Rista yang gemetar. Ia berusaha bangkit namun kepanikannya hanya bisa membuatnya beringsut-ingsut mundur menjauhi orang itu sebisanya.
Langkah orang itu berjalan pelan mengikuti Risti yang berusaha menjauh darinya. Suara napas Risti yang memburu dan suara langkah kaki orang itu mengisi lorong itu untuk beberapa waktu, sampai orang itu berkata, "seharusnya kau tidak melewati tempati ini, Nona."
Risti ingin membalas ucapan orang itu, namun perkataannya tercekat di tenggorokannya. "Seharusnya kau tidak disini, kau dengar itu, Nona?!" orang itu menghardiknya kemudian mempercepat langkahnya ke arah Risti.
Tangan orang itu terlihat mengambil sesuatu dari balik jas panjangnya. Risti langsung berharap bahwa itu adalah pistol. Pikiran yang pada keadaan sehari-hari akan dia cemooh sebagai sesuatu yang konyol. Memilih mati secara cepat daripada secara lebih pelan dan menyakitkan seandainya yang diambil orang itu dari balik jas panjangnya adalah senjata tajam. Karena manusia harus lebih memilih hidup.
Andai ia bisa memikirkannya lebih lama untuk saat ini. Karena orang itu sudah menodongkan apapun itu ke arahnya. Sebuah letusan terdengar, dan gemanya memenuhi keseluruhan lorong itu.
Risti berusaha mengantisipasi sesuatu, namun sepertinya tembakan itu tidak diarahkan kepadanya karena ia tidak merasakan sakit apapun. Orang itu masih berdiri di hadapannya, terdiam untuk beberapa saat. Dan seakan tak hendak menuruti keinginan Risti untuk mati dengan cepat, ia membuang pistol itu ke sampingnya dan kemudian mengambil sesuatu lagi dari balik jas panjangnya.
"Aku berubah pikiran," kata orang itu dengan suaranya yang serak, lalu menerjang Risti yang tak kuasa lagi menjauhkan diri dari orang itu.
Ia hanya mencoba berusaha bangkit sekuat tenaga yang ia bisa. Sekarang atau tidak sama sekali.
Risti terbangun dari ranjangnya, napasnya memburu dan tubuhnya bersimbah peluh, membasahi sebagian besar kaus tidur tanpa lengannya itu. 'Sialan!' umpatnya dalam hati setelah menyadari bahwa yang ia alami baru saja adalah sebuah mimpi. Dia telah memimpikan hal ini berkali-kali sehingga seharusnya ia dapat mengetahui bahwa ia sedang bermimpi ketika mengalaminya.
Namun entah mengapa setiap mimpi itu terasa semakin nyata seiring waktu ia mengalaminya, yang menyebabkan dirinya kembali terkecoh kali ini. Ia lalu merasakan kedinginan karena kausnya yang sebagian basah itu terkena hawa pendingin udara yang telah mengisi kamar tidurnya itu. Ia harus menggantinya dengan yang kering. Menyibak selimutnya, Risti beranjak turun dari ranjang dan menuju ke lemari pakaiannya.