Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pandangan Pertama

30 April 2016   11:53 Diperbarui: 30 April 2016   12:56 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: pinterest.com

Semalam aku bermimpi, jarak antara kita hanya selebar dua lapisan kulit. Begitu hangat, begitu lekat. Lalu kuberanikan diri untuk melakukan yang seharusnya. Kuraih dagumu, dan kutatap sepasang mata indah itu. Lalu kukikis perlahan jarak antara bibir kita. Sampai bersentuhan. Mulanya kau diam, mulanya kau segan. Tapi setelah tersentuh, pecahlah rasa itu. Rasa yang memang milik kita.

Tak perlulah aku bercerita lagi tentang lebarnya jurang ini. Pemisah yang memenjarakan dua jiwa yang saling merindu. Mungkin bilamana tiada lagi perkara-perkara yang diributkan manusia, kita baru bisa bersama. Aku selalu mereka panggil Cina, entah untuk alasan apa. Terpikir olehku beberapa kemungkinan, yang mungkin itu adalah kebenaran, tapi kuanggap itu hanyalah pikiranku yang terlalu muram. Dan aku sudah tercukupkan bila soal muram. Sangat berlebihan, malahan. Kau mau? Biar kubagi muramku.

Teman-temanku menyebut engkau pribumi. Seakan aku ini bukan dari bumi. Seakan setiap insan yang ditiupkan nafasnya oleh seijin Ilahi langsung distempel dan mesti hidup berkotak-kotak. Kurasa itu benar, setidaknya film-film bioskop yang menceritakan tentang distrik-distrik itu tenar. Dan bukankah memang begitu? Tenar berarti benar. Dan seakan itu belumlah cukup, keyakinan kitapun berbeda.

Aku akan berhenti soal perkara stempel. Lebih penting mana? Menyebut keyakinan kita berbeda, atau kusebut saja agama kita berdua? Yang jelas, kita diharamkan untuk bersama, entah oleh siapa. Terlalu banyak hakim-hakim di masa sekarang ini. Kalau bukan hakim yang korupsi uang, maka hakim yang miskin nurani namun tinggi harga diri. Sudah tentu mereka adalah oknum-oknum. Sebagaimana kita berdua, oknum dunia cinta.

Sialnya adalah kita ini sama-sama bukan pembangkang. Kita sama, mau melakukan apa saja demi cinta, selama itu bukan melawan orangtua. Kita hanya bisa memimpikan untuk kabur bersama, entah kemana saja. Yang penting kita tetap terus dapat bersama. Namun kita tidak tega untuk beraksi. Beban keluarga kita telah kita sampirkan di pundak, dan sudah membawanya sedari kita kecil. Dua benak tidaklah mudah, apalagi kalau sudah empat, belasan atau puluhan. Maka disinilah kita dipaku oleh keadaan.

Hanya berharap waktu dapat mengikis batu yang menyelimuti kedua pasang ayah ibu kita. Hanya bisa berdoa bahwa kita akan diberikan jalan yang terbaik. Dengan menyebut terbaik, maksudku kita akan kembali bersama. Setidaknya itulah yang kurasakan terbaik. Menjalani hidup ini tanpamu pastilah terasa hambar. Kau seperti masakan penuh bumbu dan citarasa yang sekian lama telah menjadi menu favoritku. 

Mencicipi pahit dan manis hidupmu, mengurai asam dan garam kelabu. Atau asin getir perjalananmu. Dan ku tenggelam di antara kesemua itu. Tenggelam tanpa mau terapung kembali, aku rela mati bila seperti ini. Bayangkanlah makanan seperti itu. Lalu cobalah makan sayur rebus tanpa garam maupun sambal. Bayangkan. Maka mungkin kau akan sedikit tau tentang perasaanku.

Bila ada yang kuketahui soal kenyataan, mereka selalu tak mau kau duga, karena kau seringnya menduga yang sebaliknya. Kita menginginkan bersama, kenyataan menginginkan berbeda. Lalu kita diantarkan ke kenyataan bahwa mimpi kita harus diakhiri. Kau akan dinikahkan dengan lelaki pilihan orangtuamu. Aku tak dapat menampik, begitupun dirimu. Dunia sudah menahbiskan, lelaki yang seiman, sederhana, rajin, bertanggungjawab. Bilamana harus kukandaskan mimpiku, maka biarlah dia yang melanjutkannya. Kau dan dia pantas mendapatkannya.

Lalu bagaimana dengan bara hati kita berdua yang saling dan selalu berpercikan ini? Kita yang telah bangun dari mimpi, dan menyadari bahwa kita harus berakhir, karena kita sudah berada di tepi cerita. Tapi kita punya cara. Maka menyamarlah aku berbulan-bulan sebagai perias salon yang wadam. Aku bahkan mengambil kursus untuk itu, dan mempelajari tingkah laku wadam dari sekitarku maupun melalui media. Cinta itu memang bahan bakar yang luar biasa. Dan kau akan memilih salon dimana aku bekerja, bagaimanapun caranya.

Lalu nanti pada hari H, pada dini hari itu, disitulah kita akan meluapkan segalanya. Tanpa peduli akan orangtua, dosa, maupun perkara lainnya. Kita pasti akan bercinta, karena mimpi itu telah memberitahuku. Kita akan bercinta sampai meluruh airmata, bercinta untuk pertama dan terakhir kalinya. Dan setelah semuanya usai, aku akan berlari sejauh mungkin, supaya kau tak lagi teringat akan diriku. Bagaimanapun mimpi kita akan tetap berlanjut. Hanya peranku akan digantikan lelaki itu, kuyakin ia mampu.

Aku sendiri telah memutuskan akan jadi pertapa setelah itu. Mencuci dosa, bilamana dapat. Melantunkan doa-doa cintaku untukmu, yang selalu akan kuingat.

Jakarta, April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun