Kau telikung kau melengkung pun, kau sogok kau sodok pun, tetap kau takkan bisa mencurangiku -dari yang selalu menunggumu sampai kapanpun.
"Perasaan apa ini?" Adri memegang kedua tangan Zahra dan menatap matanya dengan penuh arti, memainkan permainan yang hanya mereka berdua ketahui.
"Perasaan aku baik-baik saja," jawab Zahra dengan nada setengah menggoda setengah mencanda. Adri tertawa, lalu menatap serius ke bola mata yang sudah mengikatnya itu.
"Kita akan selalu bersama," ujarnya lembut lalu kedua bibir mereka berpagut. Mereka sedang berada di kafe langganan mereka, kafe tanpa nama, juga tak ternama, hanya sebuah kafe sederhana namun punya banyak cerita. Karena disinilah cerita mereka bermula.
Selesai memagut asmara mereka, Adri lalu melayangkan pandang ke sekitar kafe itu, dia sering melakukannya. Dia menyukai kafe itu karena inilah salah satu alasannya. Kafe itu berada di pinggir jalan yang cukup besar namun lengang. Di seberangnya ada sungai, dengan tembok menurun di kedua sisi, dan pepohonan mahoni meneduhkan mereka yang menjejakkan kaki di pedestrian, entah sekedar menghabiskan waktu atau mengejar kehidupan. Adri lalu memperhatikan wanita yang sedang duduk di halte bus yang berada tepat di seberang kafe, sebagaimana sering ia lakukan sambil duduk di meja favoritnya di kafe itu, memperhatikan orang-orang.
Wanita itu duduk dengan anggun, mungkin sedang menunggu bus, benak Adri. Ada satu hal yang menarik perhatiannya, entah mengapa, seakan dengan melihat wanita itu saja sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Zahra yang selesai menyeruput latte nya itu, melihat ke arah Adri, merasakan mimiknya yang tak biasa, lalu mengikuti arah kemana Adri memandang. Sebuah bus yang sedang mengambil penumpang.
"Ada apa?"
"Ah tidak, tidak ada apa-apa," ujar Adri seakan kesadarannya kembali. Zahra mengangkat bahu, lalu Adri berusaha menghilangkan canggungnya dengan turut menyeruput minumannya. Ia lalu bertanya kepada Zahra tentang bagaimana jalannya hari ini dan lalu mereka berdua terlibat dalam percakapan yang hangat kembali.
Tak lama setelah percakapannya yang terakhir menjeda, Adri seakan ditarik sebuah magnet untuk kembali melihat ke arah tempat wanita itu berada tadi. Karena seharusnya dia sudah pergi dengan bus itu. Namun masih ditemuinya wanita itu disitu, masih lengkap dengan keanggunannya yang misterius. Dan kali ini wanita itu melambaikan tangannya. Bukan untuk memanggil, tetapi Adri merasakan demikian. Dia pun beranjak dari kursinya.
"Eh, kenapa Dri?" tanya Zahra sedikit kebingungan.
"Tidak, aku hanya melihat sesuatu," jawab Adri singkat lalu mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari pelataran kafe itu.
"Hei, memangnya kamu lihat apa, Dri?" tanya Zahra mulai sedikit panik, dan mengarahkan pandangannya kembali ke halte bus itu, tidak ada suatu apapun disana yang mungkin menarik perhatian. Zahra lalu beranjak bangkit juga, namun Adri sudah mulai berlari dengan hanya berfokus melihat ke arah wanita itu.
"Hei, hati-hati!" teriak Zahra panik. Namun kepanikan itu seakan diamini oleh yang terjadi kemudian.
Brakk!!
Adri tertabrak oleh mobil dari arah kiri yang tak mampu mengantisipasi kemunculan Adri yang berlari dengan cepat itu. Tubuhnya pun terpelanting dan menggelinding dua putaran di atas jalan. Lalu tak lagi bergerak. Hanya matanya yang masih berputar mencari keberadaan wanita itu. Yang kini sudah beranjak berdiri, dan kemudian melemparkan senyum kepadanya. Teriakan dan tangisan Zahra yang menyusul kemudian sudah tak terdengar lagi, seiring matanya yang menutup.
"Adri! Dri!!" teriak Zahra sambil menangis, namun yang pergi sudah tidak bisa kembali.
II
Bayu lekas bergegas turun dari mobil ambulan untuk langsung menolong korban kecelakaan kali ini, melakukan prosedur yang ia hapal. Dilihatnya wanita yang sedang menangisi tubuh yang terkulai di atas jalan itu. Dihampirinya lalu dipegangnya pundak wanita itu dengan lembut, bermaksud menenangkan.
"Mba, maaf, ijinkan saya untuk menolong korban terlebih dulu."
Zahra menoleh ke arah orang yang memegang pundaknya, dan baru tersadar akan kehadiran petugas medis, walaupun sirine ambulan itu masih meraung sedari tadi dan baru saja dimatikan, tinggal kedip lampunya yang masih menyala. Dia lalu memberi tempat kepada petugas medis itu, yang kemudian langsung berlutut di samping tubuh Adri.
"Tolong ya Mas," ucapnya sambil terisak.
Bayu langsung mengecek nadi lelaki itu, tak dirasakannya denyutan. Lalu ia membukakan matanya, dan mengambil senter yang tergantung di pinggangnya, hendak mengecek respon pupil mata si korban. Namun ketika ia mengarahkan senter itu dan juga matanya ke arah mata si korban, dia melihat matanya bergerak dan menatap ke bola matanya, dan seketika itu jiwanya tercerabut. Dan untuk beberapa saat ia tak bergerak. Lalu ia menoleh ke arah Zahra.
"Maafkan aku, Zahra, tapi dia sudah tak tertolong lagi," kata Bayu kemudian.
---
"Aku tak tau apakah aku bisa melewatinya semuanya tanpa kamu yang menemaniku, Bay," ucap Zahra serius sambil memeluk tubuh Bayu. Mereka sedang duduk berdua di pinggiran dermaga, menikmati angin dari arah laut yang menenangkan. Dua bulan sudah berlalu semenjak kematian Adri.
"Aku tau, Ra, untuk itulah aku kembali," ucap Bayu sambil mengulurkan tangannya memeluk bahu Zahra, yang lalu menoleh ke arahnya.
"Maksud kamu? Kembali dari mana?" tanya Zahra ketika pikirannya tergelitik oleh suatu hal yang sempat dirasakannya aneh.
Menyadarinya, Bayu segera memutar otaknya untuk mencari jawaban.
"Kembali dari rasa rinduku untuk mencintaimu," gombal Bayu sekenanya, berharap Zahra takkan menanyakan lebih lanjut. Yang rupanya berhasil, karena Zahra tersipu.
"Ah, kamu memang paling bisa. Seakan kamu begitu mengenalku," ujarnya kemudian mengeratkan pelukannya ke tubuh Bayu, yang sepelan mungkin berusaha menghela napas lega. Zahra tak perlu tau tentang kejadian ini, pikir Bayu, yang penting adalah mereka dapat bersama kembali.
Bayu lalu melemparkan pandangannya ke laut, yang keemasan karena disirami cahaya matahari, ke kumpulan burung camar yang mengejar matahari yang menjelang senja itu. Lalu pandangannya tertumbuk kepada perahu yang sedang mendekat ke arah mereka dari kejauhan. Namun rasa tak enak menghampirinya kemudian, ketika melihat sesosok orang yang sedang berdiri di perahu itu, yang sepertinya sedang menghadap ke arahnya. Dan makin nyatalah seiring rasa yang makin mencekam dadanya itu ketika mengetahui bahwa yang sedang berdiri di perahu itu adalah wanita anggun misterius itu.
Dia tak akan menghampirinya lagi sekarang, dia sudah tau siapa wanita itu. Namun dia tak ingin membuat Zahra panik, seperti dulu di waktu di kafe itu, yang sudah tak lagi mereka kunjungi demi alasan melupakan kenangan. Dan diapun sendiri agak takut untuk kembali ke kafe itu, takut akan pertemuannya lagi dengan si wanita anggun misterius. Namun memang untung tak dapat diraih.
"Ra, kamu tunggu disini ya, aku hendak mengambilkanmu sesuatu dari mobil," ujarnya kemudian. Dan setelah Zahra mengangguk dan melepaskan pelukannya, Bayu bergegas beranjak dan mulai berlari. Zahra tersenyum menyaksikan itu, mengantisipasi sebuah kejutan.
Bayu berlari bergegas menghampiri mobilnya. Dia tak tahu bagaimana cara melarikan diri dari wanita anggun itu, namun jelas sudah ia tak akan menunggu wanita itu untuk menghampirinya begitu saja. Baru sampai di pelataran parkir dan hendak mengeluarkan kunci mobilnya, seseorang bertopeng menodongkan pistol ke arah kepalanya.
"Serahkan uangmu! Cepat!" teriaknya dengan tertahan, namun dengan kepanikan yang kentara. Begitulah sifat pertama kali. Chandra berusaha meredakan kepanikannya itu dengan memikirkan kekasihnya yang sudah hendak dijodohkan orangtuanya dengan lelaki lain bilamana ia gagal melamarnya dengan persyaratan sejumlah uang yang tidak sedikit. Sedangkan penghasilannya pas-pasan. Cinta memang butuh pengorbanan, batinnya berusaha membenarkan tindakannya itu.
Bayu tersentak, namun berusaha meraih ketenangannya kembali. Ia tak ingin mati konyol seperti ini. Dan lebih dari itu, ia sudah jelas tak ingin mati lagi.
"Tenang, Bung, akan kuserahkan, ini, ini," kata Bayu sambil mengeluarkan dompetnya.
Merampas dompet tersebut dan membuka isinya, Chandra menyadari jumlahnya tidak cukup. Dia lalu melihat ke arah pria yang sedang ditodongnya itu.
"Tidak cukup, Bung, tidak! Kau punya yang lainnya?!" dia menghampiri Bayu untuk memeriksa apakah ada perhiasan berharga yang sedang dipakainya saat ini.
Sekelebat pikiran nekat melesat ke benak Bayu. Bagaimanapun dia tak dapat merelakan untuk menyerahkan mobilnya saat ini. Khusus untuk saat ini, dimana dia harus bisa melarikan diri secepatnya dari sini. Bayu lalu berusaha merebut senjata yang sedang ditodongkan ke arahnya itu. Sekelebat pikiran lagi menyatakan siapa tau senjata ini dapat berguna untuk menghadapi wanita anggun itu.
Chandra semakin panik ketika ia mendapatkan perlawanan pria yang hendak ditodongnya itu. Mereka lalu bergumul untuk memperebutkan benda yang begitu penting pada saat ini.
Dorr!
Letusan pistol itu menyudahi pergumulan. Tubuh Bayu pun ambruk. Chandra bergidik menyadari hal itu. Ini bukan kejadian yang diharapkannya. Lebih dari itu, menyentak pikirannya sehingga tersadar akan kesalahannya yang sudah melangkah terlalu jauh atas nama pengorbanan cinta. Pistol yang ada di genggamannya itu dia buang. Dia lalu menatap ke tubuh pria yang sekarang sudah jadi korban penembakannya itu. Sepertinya tak bergerak. Dia belum dapat memastikan di bagian mana dia menembak pria malang ini.
Chandra lalu berlutut untuk memastikannya. Namun ketika tangannya menyentuh lengan pria malang itu, jiwanya ditarik dengan kencang, lalu dilemparkan menuju kekosongan. Tak lama kemudian ia menundukkan kepala.
"Tidak.. tidak lagi," ucapnya pelan.
III
Mata Zahra memerah, menatapi orang yang berada di seberang ruang tempat tahanan berkomunikasi dengan pengunjung. Tiga bulan sudah ia meratapi diri sepeninggal Bayu, dan yang tersisa adalah alasan. Alasan yang harus dia ketahui dari pria ini, mengapa ia begitu tega melakukannya. Zahra sudah tak lagi peduli bila ia hanya mendapatkan jawaban standar ala penjahat, terpaksa atau sebagainya. Dia hanya berusaha untuk mengatasi kehilangannya, walau dengan cara yang sepertinya sia-sia.
"Mengapa kau melakukannya?" tanyanya dengan perlahan.
Chandra balik menatap dengan pandangan kosong. Memberitahu Zahra perihal yang sebenarnya tidak akan memperbaiki keadaan. Karena Zahra tak akan mempercayainya. Tadinya dia sudah menerima saja bilamana dia tak dapat bertemu lagi dengan Zahra, karena dipenjara sepuluh tahun dapat merubah segalanya. Namun disinilah Zahra, menggodanya untuk memilikinya sekali lagi. Dan diapun menyerah, diucapkannya lah yang ia tau bisa menyentuh hati Zahra.
"Kau tau perihal kesepian? Seperti saat dimana kau duduk sendiri, di pojokan sebuah kafe mungkin, lalu merenungi nasibmu yang sendiri, sementara di sekitarmu orang-orang menebarkan aroma cinta dan saling berkasih-kasihan. Tapi kau sendiri, sendiri karena pilihan, sendiri karena tak ada orang yang mengerti gundah dan gulanamu, waras dan gilamu."
"Lalu seseorang itu datang. Membahagialah dirimu, kini ada teman bergandengan tangan menyusuri lorong-lorong kehidupan. Kau tau kau akan melakukan segalanya untuk orang itu, sebagaimana hakikat mimpi yang terwujud."
"Lalu dalam kasusku, aku dihadapkan pada pilihan, kabur bersama wanitaku, atau merampok orang untuk menebusnya, dari keluarganya. Keduanya tidak benar memang, namun tak ada sedikit niatpun dariku untuk menghilangkan nyawa kekasihmu. Aku bahkan diberitahu bahwa pistol itu kosong oleh temanku."
Dirangkumnya berbagai kesimpulan untuk membuat suatu alasan yang diharapnya akan meyakinkan Zahra. Adapun ia dapatkan itu setelah dikunjungi oleh kekasih Chandra yang memberikan kabar pernikahannya dengan lelaki lain itu. Juga setelah dikunjungi oleh teman-teman Chandra. Baik mantan kekasih Chandra maupun teman-temannya mendapatinya sedikit aneh namun berhasil dia elakkan dengan alasan kehidupan penjara.
Zahra tertegun. Ucapan yang tak disangka yang keluar dari mulut pria itu mengena di hatinya. Memutarkan kembali kenangannya akan dirinya di masa lalu. Hatinya pun luluh. Dan semenjak saat itu, benih simpatinya kepada pria itupun tumbuh.
---
Zahra sudah menunggu di dalam mobil, menantikan kebebasan Chandra. Sejenak dia merenung mengenai tiga orang yang mengisi kehidupannya ini. Merenungkan bagaimana mereka bertiga dapat selalu menyentuhnya dengan cara yang sama. Seakan dia tidak kehilangan Adri maupun Bayu sama sekali, karena mereka berdua muncul lagi dalam diri Chandra.
Yang dibicarakan oleh benaknya melangkah keluar dari pintu gerbang penjara yang untuk sejenak terbuka. Chandra lalu dengan tenang berjalan ke arah mobil Zahra. Penantian sepuluh tahun Zahra untuk dirinya semakin menyadarkannya bahwa dia tak boleh kehilangannya lagi. Maka benaknya pun berusaha mencari cara. Menghampiri mobil Zahra, Chandra tersenyum.
"Terimakasih, sayang," ujarnya dengan mendalam.
"Kembali, sayang," balas Zahra sambil berpindah tempat duduk. "Kau masih ingat cara menyetir mobil, bukan?" ujarnya kemudian, setengah bercanda setengah menggoda.
"Tentu, sayang," jawab Chandra setengah tertawa.
Mengecek semuanya seakan baru pertamakali berkendara, Chandra lalu menyalakan mesin mobil itu. Dia baru teringat kaca belakang yang belum dia sesuaikan. Dan ketika sudah pas, dilihatnya sebuah mobil di belakang mereka menyalakan lampu tembak beberapa kali. Tersilau karenanya, dia butuh beberapa saat untuk melihat dengan jelas kembali. Wanita anggun misterius itu yang menyetir mobil di belakang.
Chandra lalu tertawa.
"Kenapa, sayang?" Zahra bertanya sambil menoleh ke arahnya.
"Oh, tidak, aku hanya teringat akan sesuatu yang lucu."
Chandra menertawakan kebodohannya. Jelas sudah ia tidak dapat menghindari wanita anggun itu. Karena bukan dia yang dikehendaki, melainkan Zahra. Dia hanyalah alat yang digunakan oleh wanita anggun itu. Sehingga dia tinggal memilih, akan terus-terusan membiarkan orang lain mati, yang entah berapa lagi, dan kemudian terus membohongi Zahra agar dapat terus bersamanya. Atau melakukan yang dikehendaki oleh wanita anggun itu.
Mereka sudah memasuki jalan kini. Dan ketika Chandra melihat kembali ke arah kaca belakang, dia sudah tak melihat lagi mobil wanita anggun itu. Namun dia tau itu bukan meniadakan tujuan yang harus dia penuhi. Kembali melihat ke jalanan, di kejauhan ia melihat ada truk kontainer dari arah berlawanan. Chandra lalu menolehkan pandangannya ke arah Zahra dan melemparkan senyum terakhir.
"Apa sih yang lucu itu?" Zahra kemudian bertanya.
"Sungguh, bukan apa-apa, hanya saja aku teringat," Chandra menggantung kalimat itu, sambil menambahkan kecepatan mobil yang mereka tumpangi.
"Teringat apa?" Zahra bertanya dengan penasaran.
"Kita akan selalu bersama." Lalu Chandra membelokkan mobil mereka yang sedang melaju kencang itu ke arah truk kontainer yang juga melaju kencang, tanpa sempat mengelak lagi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H