Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Hari Keseribu Bersamamu di Pantai Ini

15 April 2016   10:46 Diperbarui: 15 April 2016   11:11 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: loverofsadness.net"][/caption]Angin sedang senang mungkin, sehingga sepoinya mendamaikan matahari sore yang masih tak rela melepas teriknya dari genggaman. Di sebelah kiri jauh ada dua pemancing yang berbicara santai sambil menunggu tarikan tali di banyu asin. Di atas pasir ada dua insan remaja tertawa bercengkrama menggoda, ada anak kecil membangun istana untuk melindungi yang berharga, ada keluarga yang senda gurau mengecipak desir air laut yang menggapai pantai. Di sebelah kanan ada grup pengabadi kenangan, beraksi mencari satu sudut dan satu detik yang abadi mengabdi.

Aku menelekan kedua tanganku di kedua sisi, mengangkat dagu dan memejamkan mata, menikmati halus raut belaian angin yang menyelimutiku. Lalu mataku terbuka.

"Kau sudah bosan denganku ya?" terdengar nada-nada surgawi mendenting di sebelahku. Mataku tak langsung menoleh. Malah mencari mungkin dua camar yang terbang menyusur tepi langit, tapi tak kutemukan. Hanya ada satu camar yang terbang sendiri, berusaha menutupi matahari.

"Betul kan begitu?" dentingan surgawi kembali terdengar. Kualihkan pandanganku ke dua remaja sambil mengenang kita pernah seperti itu dulu. Entah sekarang. Entah nanti.

"Hei, kau dengar aku tidak, sih?" harmoni suara surgawi mulai dikoyak ketidaksabaran. Lalu aku memandangnya.

Rambutnya ikal khas malaikat. Kulitnya yang halus seakan seluruh lapisannya terbuat dari sutra. Hidungnya mancung menjembatani dua hati. Mulutnya berbentuk manis, dan lengket, teringatku pada ciuman pertama kami dulu, abadi. Alisnya menaik melambungkan puja-pujiku. Matanya meneduhkan sekaligus menegaskan cintaku padanya.

"Baru kini kau memandangku. Benarlah kau sudah bosan adanya," rajuk dentingan surgawi. Aku hanya terus memandangnya.

"Mungkin sudah saatnya aku pergi," berkata sang dentingan surgawi sambil beranjak bangun. Gaunnya jatuh dengan sempurna, sesempurna dirinya di mataku. Aku tak kuasa menahannya, hanya bisa memulai rasa yang bergejolak di dada seiring setiap langkahnya menuju pantai. Dua belas langkah, gejolak rasaku mencekat kerongkongan, dia menoleh kembali. Bertanya lewat mata, apa aku sudah tak lagi inginkannya.

Dua puluh langkah, gejolak rasa sampai ke pelupuk mataku. Dia memutar badan ke arahku, bertanya untuk terakhir kali lewat tangannya yang terulur untuk menyambutku bangun dan berlari mengejarnya. Aku hanya bisa terus memandangnya. Sampai lama, sampai tangannya tak lagi terulur dan matanya isyaratkan kecewa. Lalu raut halus angin menyapu dirinya, seperti kala memutarkan dedaunan kering, menyatu dalam putaran untuk kemudian gugur satu persatu. Gejolak rasaku meleleh sudah, menjadi air yang mengalir dari mataku yang tak kuasa. 

 

April, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun