Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepadamu, Rinjani

26 Maret 2016   11:14 Diperbarui: 26 Maret 2016   11:34 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku jejakkan kaki di Tanak Awu, memulai langkah untuk melupakanmu. Mungkin aku memang terlalu banyak berdiam, dan dalam diam selalu ada dirimu, wanita yang seharusnya tak kupikirkan lagi. Teringat olehku, kau sendiri yang berkata mungkin aku butuh lebih banyak bergerak ketika kuutarakan tentang benakku yang mulai tumpul karena hidup yang kurasa mulai membosankan. Mungkin kau tidak tahu, sebagiannya adalah karena ketiadaanmu untuk menemaniku. Kau memang masih disitu, tertinggal di Jakarta, namun bukan untuk menemaniku.

"Sembalun, Dik?", tanya seorang bapak-bapak berpakaian cukup rapi, sehingga perhatianku tertuju kepadanya dari beberapa orang lain yang menawarkan berbagai rute lainnya. Mungkin cuma asal tebak, atau mungkin memang cuma itu rute yang dia layani. Atau mungkin dia melihat penampilanku yang bak seorang pendaki gunung, walaupun aku cuma pemula. 

Selalu ada saat pertama, seperti saat pertama aku jatuh cinta padamu. Kutanyakan singkat mengenai harga, dijawab dengan penjelasan bahwa aku harus menunggu dulu sekian waktu, dan tergantung pada berapa banyaknya penumpang, harga yang dikenakan untuk per penumpangnya pun berbeda. Kurasakan adil, kuanggukkan kepala tanda setuju.

Senja meninggi ketika mobil mulai berangkat. Bapak itu dapat lima penumpang lagi, satu pasangan dan tiga orang teman. Kuanggukkan kepala kepada mereka, sekedar tanda kesopanan. Beberapa waktu kemudian, hujan pun turun. Aku menutup kaca jendela mobil, sambil tetap memandang keluar. Malam kala hujan. Saat yang tepat untuk mengenangmu. Mengenang hukuman bagi orang yang terlalu jauh menilai seseorang. Dulu bagiku, kau wanita yang keras pendirian dan semaunya sendiri. Dan ketika karena keadaan kita mesti sering bertemu dan lalu kau menumpahkan amarahmu secara membabi buta bak banteng terluka, aku tak tahan dan meneriakimu, "sabar dong, Non!". Kupanggil kau nona sekaligus menyindir keegoisanmu.

Bukannya membalas hardikanku, kau hanya terdiam. Dan ketika setelahnya kuajak kau bicara soal itu, bahwa kemarahanmu yang membabi buta itu hanya akan merugikan dirimu sendiri. Ada hal yang bisa kita kendalikan, kita lakukan. Ada hal yang tidak bisa kita kendalikan, kita terima. Kau malah meminta maaf, dan dalam pertemuan berikutnya kau begitu memberi perhatianmu kepadaku. Sial, aku kena batunya. Kau jatuh cinta kepadaku, yang pada gilirannya membuatku jatuh cinta kepadamu, karena mungkin aku manusia payah. Karena belum pernah ada yang mau berubah sedemikian rupa untukku. Kau yang pertama begitu.

Bahkan tidak pula pacarku.

Kamipun sampai di Sembalun, dan setelah diperkenalkan dengan penduduk sekitar yang menyewakan rumahnya untuk penginapan, aku memutuskan untuk mengambil kamar untuk satu orang. Aku kesini bukan untuk bersosialisasi, karena selain aku bukan ahlinya, aku tak ingin perjalananku nanti diisi dengan percakapan untuk mengenal satu sama lain. Aku hanya ingin menikmati setiap langkah pendakian, sambil berusaha melepaskanmu dari ingatan. Setelah mandi dan sebagainya, aku membaringkan kepalaku di atas kasur. Mungkin karena lelah, tak biasanya aku cepat tertidur kali ini.

Aku terbangun pukul lima diiringi suara ayam berkokok. Suasana yang sudah jarang di kota. Mungkin ini obat yang ampuh, sekelebat pikiran bersandar di benakku. Menggeliatkan badan, aku beranjak bangkit dan berusaha menikmati pagi. Tuan rumah sedang menyiapkan sarapan, kusapa sekedarnya, lalu beranjak keluar rumah. Kuhirup udaranya, terasa berbeda. Lalu kupandangi kejauhan, matahari yang sebentar lagi menerikkan hari, baru memicingkan cahaya dari sela ranting pepohonan.

Pagi kala terik mentari, biasanya aku mengenangmu. Mengenangkan arti perjumpaan kita di saat yang sudah tidak lagi ada kesempatan bagi kita untuk berpelukan menyatukan rasa. Untuk mengetahui benarkah kau pengisi rusukku yang hilang. Untuk mengetahui benarkah aku pengisi lubang jiwamu. Saat sudah tak lagi tepat. Kau telah dilamar sebelum semua itu terjadi. Kau telah mengatakan ya untuk masa depan yang menanti. Dan aku? Aku sudah disini, meniti jalan untuk memaafkan diri karena telah melewatkanmu. Menyelami rahasia Ilahi dari semua ini.

Jadi kepadamu, Rinjani, kutitipkan semua ini.

 

 

 

Jakarta, 26 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun