Keterlambatan bicara (speech delay) merupakan kondisi di mana perkembangan bahasa dan komunikasi pada seorang anak tertunda dibandingkan dengan tahap perkembangan anak-anak seusianya. Speech delay dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keterlambatan perkembangan neurologis, gangguan pendengaran, atau adanya kondisi lain seperti gangguan spektrum autisme (American Psychiatric Association, 2013). Pendekatan yang paling umum digunakan untuk menangani keterlambatan bicara adalah terapi wicara, yang melibatkan teknik-teknik khusus yang dirancang untuk merangsang kemampuan komunikasi verbal anak (Paul, R. & Norbury, C. F., 2012).
Sebelum masuk ke sana, saya jelaskan terlebih dahulu, soal Hipnoterapi. Yakni bentuk terapi yang menggunakan teknik hipnosis untuk mencapai kondisi relaksasi mendalam, di mana individu lebih reseptif terhadap sugesti positif (Heap, M., & Aravind, K. K., 2002).
Hipnoterapi menjadi sangat menarik perhatian banyak orang. Dalam konteks psikologis, hipnoterapi sering digunakan untuk mengatasi gangguan kecemasan, trauma, atau kebiasaan buruk, serta sebagai bantuan untuk meningkatkan kepercayaan diri (Lynn, S. J., et al., 2010).
Namun, penelitian tentang penggunaan hipnoterapi untuk speech delay masih sangat terbatas. Hipnoterapi dapat memberikan manfaat pada anak-anak yang mengalami kecemasan atau trauma yang mungkin mempengaruhi perkembangan bicara mereka. Contohnya, kasus di mana speech delay terkait dengan mutisme selektif, sebuah kondisi di mana anak-anak memilih untuk tidak berbicara dalam situasi tertentu karena faktor psikologis, hipnoterapi mungkin dapat membantu mereka melepaskan kecemasan yang mendasarinya (Kohen, D. P., 1995). Saya ulang sekali lagi, ini kalau ada trauma yang membentuknya. Kalau ini organik, ini ranah terapis wicara. Konsultasikan ke dokter/psikolog terlebih dahulu, lebih baik lagi berkolaborasi ke semuanya itu.
Penting untuk dicatat, hipnoterapi tidak boleh dianggap sebagai pengganti terapi wicara yang sudah terbukti efektif dalam menangani keterlambatan bicara yang disebabkan oleh faktor perkembangan atau neurologis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Williams dan Handler (2004), INTERVENSI UTAMA untuk speech delay adalah terapi wicara dengan pendekatan intervensi dini yang melibatkan orang tua dan lingkungan sosial anak. Selain itu, berbagai studi juga menegaskan bahwa faktor neurobiologis memainkan peran kunci dalam speech delay, yang menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih terfokus pada rehabilitasi neurologis dan komunikasi (Bishop, D. V. M., 2006).
Rekomendasi utama adalah untuk tetap mengikuti terapi wicara konvensional yang telah terbukti secara klinis efektif dalam menangani kasus speech delay. Kolaborasi antara terapis wicara, psikolog, dan jika diperlukan psikiater, dapat menghasilkan pendekatan yang lebih holistik dalam penanganan speech delay, terutama jika terdapat komorbiditas psikologis.
Jadi, jelas saya memilih untuk menolak klien yang datang untuk membereskan speech delay. Pengingat untuk diri sendiri.
Referensi:
1. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). Washington, DC.
2. Bishop, D. V. M. (2006). Children's Communication Impairments: Pragmatic Difficulties in Children with Language and Communication Disorders. Psychology Press.
3. Heap, M., & Aravind, K. K. (2002). Hypnotherapy: A Handbook. Open University Press.
4. Kohen, D. P. (1995). "Clinical hypnosis with children and adolescents: What? Why? How? When? Where?" American Journal of Clinical Hypnosis, 38(2), 104-119.
5. Lynn, S. J., Kirsch, I., Barabasz, A., Cardea, E., & Patterson, D. (2000). "Hypnosis as an empirically supported clinical intervention: The state of the evidence and a look to the future." International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 48(2), 239-259.
6. Paul, R., & Norbury, C. F. (2012). Language Disorders from Infancy through Adolescence: Listening, Speaking, Reading, Writing, and Communicating (4th ed.). Elsevier Health Sciences.
7. Williams, J., & Handler, L. (2004). "Speech and language delay: When and how to intervene." American Family Physician, 70(1), 51-58.
Foto: Anak saya sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H