Mohon tunggu...
Budhi Sugeng R
Budhi Sugeng R Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seoarang yang suka berpetualang dan bermimpi jadi seorang penulis. bermain main di dunianya aozora-aiko.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Rumah Kaca (Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles)

24 April 2016   09:20 Diperbarui: 24 April 2016   10:00 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dokpri"][/caption]

"Nuraniku tergoncang. Apa yang harus kulakukan terhadap dia? Dia bukan penjahat, bukan pemberontak...Dia hanya terlalu mencintai bangsa tanah airnya Hindia..." (hlm. 7).

Secangkir kopi pagi ini menemaniku dalam menulis review  sebuah roman berjudul “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer

Rumah Kaca merupakan roman ke-4 nya Pramodya Ananta Toer yang menggambarkan sebuah kehidupan di Hindia Belanda  pada masa Kolonial melengkapi episode dari roman sebelumnya yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah.

Roman ini mengisahkan tentang seoarang mantan komisaris polisi bernama Jacques Pangemanann yang bekerja diAlgemene Secretarie , bertugas mengawasi situasi social politik dan mengawsi tokoh-tokoh dan organisasi pribumi untuk selanjutnya menganalisa dan  menyampaikan kesimpulan untuk diserahkan kepada gurbenur jendral sebagai bahan  pertimbangan dalam mengambil  sebuah kebijakkan di hindia.

Pada awalnyaPangemanann adalah pribadi yang berintegritas, yang berjalan di jalan yang dikehendaki Tuhan. Ia memiliki segalanya: jabatan, nama baik, istri dan anak-anak yang mencintainya. Namun kesempurnaan itu perlahan mulai memudar ketika ia mulai bekerja di Algemene Secretarie dan terlibat dalam pemberangusan organisasi dan tokoh nasionalis.

 Ada kegelisahan , ada pertentangan batin dan nuraninya ketika ia begitu mengagumi tokoh-tokoh pribumi, seperti Minke,  Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker, Markodikromo, Siti Soendari,dll yang berjuang demi bangsanya, namun ia juga yang membuat mereka terbungkam   karena aktivitas politiknya, terbuang dari orang-orang yang mencintainya.

Sebagai pejabat pemerintah ia hanyalah sebagai budak Kolonial yang tak mampu melawan nuraninya, ia harus taat atas kewajiban yang diembankannya.  Rumah Kaca menyimbulkan kekuasaan untuk mengawasi, memata-matai dan selanjutnya mencari cara untuk membungkam aktivis yang vocal terhadap kebijakan pemerintah Kolonial.

Berbeda dengan ketiga roman sebelumnya, yang mengambil sudut pandang  dari tokoh Minke, Rumah Kaca bercerita dari sisi Jecques Pangemanann. Bercerita akan kegelisahan, nurani yang terenggut, kehilangan keluarga yang dicintai, disatu sisi ia juga bercerita tentang keberhasilan melemahkan organisasi nasionalis dengan tokoh-tokoh di dalamnya.

“Tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertam-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudra masih membawa padanya sisa-sisa kkeuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memrintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. (Minke hal 563)

Pada akhir-akhir bab sekilas Bumi Manusia  hadir ketika ia menjemput dan menyambut kedatangan kembali tokoh yang terbuang yaitu Minke. Gejolak hatinya begitu tak menentu ketika bertemu dengan orang yang ia kagumi sekaligus orang yang ia buang.

Tokoh minke kembali hadir, bersama kenangan yang dilaluinya pada Bumi manusia,kembali menjadi manusia bebas namun semua sudah berubah, ia kehilangan teman dan sahabat, kehilangan harta benda, terpenjara dalam kesepian dan kesendirian.

Kehidupan yang dulu penuh gelora aktivitas politik kini tinggal kehampaan, dan dalam bab ini diceritakan kematian sang Minke secara dramatis. Kematiannya yang sunyi  dan tanpa pemberitaan, dan ia mati meninggalkan perubahan pada bangsanya ,kelak apa yang ia perjuangkan akan terus hidup terutama oleh orang-orang yang begitu cinta terhadap tanah air dan bangsanya.

@@

[caption caption="dokpri"]

[/caption]

Roman setebal 656 ini mampu mengisi liburanku, teman secangkir kopi rasanya belum cukup untuk menemaniku dalam menyelami karya sastra ini.

Rumah kaca mampu membuatku kembali ke masa lalu masa dimana bangsaku masih tertatih dalam menjalani kehidupanya, bersama  tokoh-tokoh perintis perubahan merekalah orang yang begitu mencintai tanah airnya.

Banyak nilai yang bisa diambil nilai akan nasionalisme, kecintaan pada bangsanya, pertentangan nurani, pentingnya untuk menulis, tak perduli akan apa yang terjadi bahwa berusaha untuk mengubah nasib dengan tindakan adalah sebuah keharusan.

Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang yang mau membikin kenyatan-kenyataan baru, maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia (hal 584-585)

Ku tutup Rumah Kaca bersamaan dengan habisnya kopi dalam cangkir keduaku.

Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles. Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina.(Pramodya Ananta Toer)

 

dipost juga di : http://www.kutubuku.ga/2016/04/rumah-kaca-deposuit-potentes-de-sede-et.html

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun