Mohon tunggu...
ONI ANDHI AS
ONI ANDHI AS Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Aku adalah aku, aku adalah diriku sendiri bukan orang lain dan tidak mau diperbudak oleh orang lain, aku adalah milikku dan aku bekerja semauku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerja Paksa Zaman Kolonial dan Kerja Paksa Zaman Milenial

27 Juli 2020   08:54 Diperbarui: 27 Juli 2020   09:18 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
medium.com/@igmerwina

"Perjuanganku lebih mudah karena yang ku hadapi adalah bangsa asing, Perjuanganmu lebih sulit karena yang kamu hadapi adalah bangsamu sendiri", demikianlah untaian kata-kata bijak Soekarno, yang sebenarnya lebih mirip dengan ramalan. 

Kita sudah sering mendengar kekejaman para penjajah Belanda dan Jepang yang banyak mengeksploitasi kekayaan alam dan keringat bangsa Indonesia. Mulai dari jaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) hingga Belanda dating kembali melalui serangkaian agresi. 

Apa yang sebenarnya membuat bangsa dan negara ini begitu menarik hati bangsa lain? Mengapa slogan pemerintah saat ini yaitu "Kerja, kerja, kerja!!" menjadi sebuah perdebatan yang berkepanjangan? Mari kita telisik sejarahnya.

Penjajahan pada masa pemerintah kolonial Belanda banyak diwarnai dengan kisah-kisah mengerikan bentuk kekerasan pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat dari beberapa gambaran kondisi saat itu yang tertuang dalam buku Sejarah Sosial pedesaan Karisidenan Semarang 1830-1900. 

Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda antara lain dituangkan dalam bentuk Heerediensten atau kerja wajib untuk membuat lahan perkebunan kopi dan rel kereta api. 

Dikisahkan bahwa ketika membuka lahan perkebunan kopi di wilayah Karisidenan Semarang, diberlakukan sebuah aturan yang mewajibkan para pamong wilayah untuk mengirimkan sejumlah pria untuk bekerja di perkebunan. 

Sebenarnya pekerjaan ini digaji, meskipun kurang layak namun sebenarnya cukup untuk keluarga, hanya saja pemerintah kolonial Hindia Belanda kurang memperhatikan sektor kesehatan dan logistik untuk para pekerja. Tetapi apabila ditinjau lebih lanjut yang bermasalah sebenarnya pemangku kebijakan ataukah pelaksana teknis di lapangan?

Sistem pemerintahan yang dikerjakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebenarnya menggunakan prinsip indirect rule atau pemerintahan secara tidak langsung, artinya pemerintah kolonial melaksanakan kebijakan melalui kepanjangan tangan dengan menggunakan struktur pemerintahan lokal seperti Bupati, Wedana, dan Lurah. Pada struktur bawah inilah sering terjadi penyelewengan seperti nepotisme (misbruiken), pemerasan (knevelarijen), dan korupsi (knoeierijen). 

Boleh jadi para pemangku jabatan Pribumi pada masa itu bersikap apatis, lamban, dan tidak patuh akan mendapat apresiasi yang tinggi dari penduduk dan mendapat teguran dari pemerintah Belanda, namun ada juga yang sebaliknya yaitu menghamba pada Belanda dan menimbulkan bencana bagi masyarakatnya sendiri. 

Beberapa kasus menunjukkan bahwa ada pemotongan upah yang dilakukan secara tersembunyi oleh para pemangku jabatan Pribumi, adanya pengusulan pegawai karena relasi, dan adanya persengkokolan jahat dalam menentukan upah pekerja oleh para pejabat daerah dan Belanda.

Melalui ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa sebenarnya pada masa kini tidak ubahnya masa lalu, maka kesimpulannya, masyarakat saat ini masih melestarikan sistem lama yang banyak merugikan kelas sosial bawah. 

Penjajahan dengan metode yang lebih halus melalui invasi pabrik-pabrik asing yang memproduksi barangnya di Indonesia, mendapatkan pekerja dan bahan baku murah dari Indonesia, dan memiliki lokasi pasar yang menjanjikan yaitu di Indonesia sendiri. 

Berdirinya pabrik-pabrik tersebut membuat bangsa ini sulit mandiri karena tergantung pada kepentingan asing, seolah-olah bangsa ini adalah kepanjangan tangan dari bangsa Asing. 

Sisi positifnya adalah mengurangi pengangguran, namun di sisi lain kran-kran Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) juga terbuka lebar. Hal itu dapat dilihat dari proses perijininan, proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan penentuan Upah Minimum Regional (UMR) yang seringkali mencederai hati para buruh dan pekerja. Perhitungan investasi yang selalu merugikan negara dan menguntungkan segelintir orang ketika proses negosiasi yang juga mirip dengan pemborong-pemborong pribumi di masa lalu.

Sudah saatnya bangsa ini berbenah untuk mengurangi ketergantungan asing melalui perubahan sistem-sistem tua yang diwariskan dari masa kolonial. Kebobrokan karakter masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi pemangku jabatan mencerminkan bangsa ini belum merdeka secara nurani dan pemikiran, bangsa ini masih melestarika tradisi yang dahulu mereka benci. 

Semoga bangsa ini lekas berbenah, pemikiran berubah, melalui belajar dari sejarah. Bukan untuk menirunya melainkan untuk belajar dari apa yang terjadi di masa lalu untuk menghadapi masa kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun