Untuk mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, diperlukan kebohongan. Bagi mereka yang tidak terbiasa berbohong, hanya bisa mengungkapkan secara nyata dan murni.Â
Dengan meminjam korek kepada seorang bapak tua, yang menunggu calon penumpangnya di Terminal, telah cukup menggambarkan bagaimana kondisi ini benar-benar mengutuk mereka yang berada di tengah-tengah tekanan kebutuhan hidup, mereka yang mengais rezeki ditengah-tengah hiruk-pikuk lalu lalang orang-orang, mereka yang mencoba bernafas, walaupun tertutup oleh karbondioksidanya sendiri.Â
Aku mengutuk kondisi ini, kondisi dimana orang-orang tidak dapat berkreasi, kondisi dimana semuanya statis, hanya menunggu perintah dari lembaga penyedia kebijakan yang tidak memahami kebajikan, kondisi dimana harapan menjadi satu-satunya jalan, kondisi dimana aku tidak merasakan kebahagiaan di sorot matanya, kondisi dimana aku membenci kondisi, karena aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mengutuk kondisi ini, dengan berkata "silahkan kau membuat tatanan yang baru, maka aku akan menghancurkannya".Â
Aku merasa bahwa manusia sudah tidak bisa lagi mengatasi masalahnya sendiri. Bahkan untuk berkata bohong pun, saat ini telah menjadi pekerjaan yang menjanjikan. Aku membenci mereka yang menggunakan topeng saat sorot kamera bertemu dengan sorot matanya. Seolah-olah mereka bersandiwara dengan berkata, "ini akan baik-baik saja bila kita mematuhi aturan". Aku tidak dapat melihat bahkan menyadari aturan itu dibuat oleh siapa, untuk siapa, dan dari siapa. Mengapa seolah-olah manusia tidak seperti manusia lagi, dan mau menurut pada otoritas penyedia yang tidak mengerti realita. Tidak ada 'power' diantara orang-orang yang menunduk dan tidak melihat cahaya didepannya.Â
Kemudian untuk mereka yang merasa kondisi ini benar-benar terjadi, maka cobalah untuk skeptis terhadap kondisi. Sebenarnya sedang apa kita ini? Sebenarnya untuk siapa kita ini? Sebenarnya siapa kita ini? Hingga mau menjadi pengikut tanpa tahu, 'apa' yang sebenarnya telah kita ikuti.Â
Untuk kita yang sedang menjalani pendidikan di berbagai universitas, apakah penurunan UKT lebih penting daripada bermacam ekspresi yang telah mereka curi dari bermacam wajah manusia? Apakah kalian menyadari bahwa kalian tidak lagi memiliki muka? Sungguh tidak ada ekspresi murni ditengah-tengah digitalisasi. Mereka tidak mengerti, telah mematikan bangsanya sendiri dengan menghilangkan dan menghapuskan ekspresi orang-orang didalamnya.Â
Sungguh aku tidak dapat merasa seperti manusia, bila sekitarku hanyalah layar kaca mulai dari 4 inch, 10 inch, 14 inch, atau sampai 21 inch. Sungguh kita ini tidak lagi makhluk sosial, karena ekspresi kita sendiri telah dicuri oleh layar yang kita beli sendiri. Mungkin lebih tepat, setelah kata "makhluk sosial", kita tambahkan kata 'media' saja, untuk lebih spesifiknya.Â
Janganlah terbuai oleh modernisasi. Karena modernisasi hanya memberikan dua pilihan, Kamu yang menjadi modern? Atau kamu yang lupa akan dirimu dan sekitarmu?
Bukannya kita harus menolak zaman, tapi apakah kita sudah siap dengan zaman modern ini? Karena aku yakin, dengan karakter manusia yang mulai hilang dari manusia itu sendiri, telah membuktikan bahwa perkembangan zaman 4.0 ini telah dimulai ketika kita sendiri masih di level zaman 0.10.Â
Mungkin aku setuju dengan perkataan temanku bahwa, "zaman sekarang yang benar kalah sama yang menarik". Lalu, aku menyimpulkan bahwa tidak ada yang benar dan menarik, bila kita sendiri tidak memiliki ekspresi. Karena kebenaran dan kemenarikan seseorang, sungguh dilihat dari ekspresi yang ditampilkan. Tidak ada ekspresi di wajahku bila kamu tidak berekspresi kepadaku, dan sebaliknya. Mengapa kita menyayangi seseorang, karena kita bisa merasakan karakter orang tersebut. Mengapa saat ini kita tidak sayang pada siapapun? Karena sehari-hari kita hanya melihat layar dan layar lainnya. Hingga tidak bisa membedakan mana layar, mana wajah manusia. Karena aku sendiri sedih, ketika layar ditempatkan pada muka orang-orang. Hingga manusia menatap karakter bukan lagi lewat ekspresi, tetapi lewat feeds media digital. Mengkaji manusia lewat media sosial, tanpa pernah berani bertanya secara langsung, "Hai namamu siapa?". Bahkan aku pun sedih, ketika "kamu dan aku sibuk menatap layar masing-masing, karena obrolan langsung tidak semenarik obrolan di aplikasimu". Karena aku pun sedih "ketika banyak badan berkumpul, namun tidak merasa berkumpul". Bahkan aku pun sedih, "ketika kamu lebih memilih untuk menatap layar, ketimbang menatapku".Â
Namun dibalik itu semua aku merasakan  kebahagiaan, karena bapak tua itu masih mau meminjamkan korek kepadaku, ditengah-tengah tekanan hidup yang luar biasa.