Mohon tunggu...
Anzal Rachman F
Anzal Rachman F Mohon Tunggu... Penulis - Joni

Aku seorang Anzal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Keputusan "Cilaka" Membuat Rakyat Celaka

7 Oktober 2020   21:50 Diperbarui: 10 Oktober 2020   19:58 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : soocurious.com 

Saat ini telah kami sadari, negara ini hanya menciptakan polusi dan polisi. Serta menjunjung tinggi dua komoditi, yakni sawit dan karet. 'Sawit' sebagai bahan produksi utama, dan 'karet' sebagai pasalnya.

Sang pembuat keputusan, telah menetapkan kata 'Cilaka', sebagai pedoman utama dalam mendekatkan  diri pada "posisi karet". Mereka dimabuk lupa dan dimabuk kuasa, serta tidak menghiraukan massa yang berkeringat seharian, demi dapat mempertahankan kenyamanan kursi kalian. 

Kalian duduk sembari meminum darah dan perasaan kami. Kalian berdiri dan menatap kami tiada. Kalian berjalan diatas kepala-kepala keluarga yang diperas dan anggotanya diperkosa. 

Sesungguhnya apa makna dari demokrasi? Diantara kalian yang melanggengkan oligarki?

Kami benci standar ganda dan tawa yang kalian tebarkan. Oportunis diantara dosa yang kalian anggap manis. Membungkam setiap kata oleh Sabhara, menentang aksi lewat peran TNI, dan BIN melacak informasi pribadi, lewat identitas diri kami.

Kami menentang tindakan sembunyi-sembunyi, di negara yang memegang asas keterbukaan. Jangan jadikan kami yang miskin, sebagai alat untuk memperkaya diri kalian. 

Dimana sila ketiga, keempat dan kelima? Kalian menuduh kami sebagai Penjahat Pancasila? Sesungguhnya kalian lupa, karena yang membungkam dan meniadakan Pancasila adalah kalian yang menetapkan 'Cilaka'. Kami mengkritik tersandung UU ITE, kami berkonfrontasi membuka suara, namun dilempar gas air mata. 

"Sesungguhnya tanpa gas air mata pun, kami telah menangis setiap hari. Sesungguhnya tanpa sepatu boot kalian pun, kami telah ditindas setiap hari."

Terusik sudah kedamaian yang tidak pernah tercipta. Oleh mata yang menyorot benci dan hina kepada eksistensi masyarakat. 

"Apakah kami pantas berdemo didepan taman kanak-kanak?"

Bukan maksud kami untuk menggangu jam main kalian. Namun, tolong masuk kedalam kelas! Karena kalian semua belum pantas diluluskan dari kelas baca, tulis, dan hitung! Karena sejatinya kami yakin, bahwa kalian tidak menganggap penting ketiganya. 

Apakah kalian dapat 'membaca' situasi? Dimana semuanya orang di negeri ini sedang kocar-kacir mengamankan ekonomi pribadi. Lalu, kalian dengan santainya menjual demokrasi!

Apakah kalian tidak bisa 'menulis' kesimpulan dari setiap musyawarah? Dimana yang kami lihat dan rasakan, kalian hanya memperparah keadaan disetiap keputusan. Kalian dari awal selalu melakukan remedial, namun tidak ada hikmah yang didapatkan dari setiap kesalahan!

Apakah kalian tidak bisa 'memperhitungkan' dampak baik dan buruk dari keputusan 'Cilaka'? Dimana keputusan itu membuat rakyat semakin tercekik. Dengan berbagai regulasi tentang PHK, pesangon, kontrak, dan lainnya!

Kenapa kalian seolah buta dengan pengangguran dan kemiskinan? Mengapa kalian wahai impostor selalu mengagungkan para investor? Kami tak habis pikir, karena telah dijajah oleh bangsa sendiri!

Tolong terbuka! Kami tidak akan marah dan kecewa, bila kalian memang tidak bisa 'calistung'. Kami akan ajari kalian perlahan, dengan menggunakan laptop, kertas dan pulpen dinas sebagai syaratnya. Kalian yang ingin belajar, akan selalu kami tunggu dengan sabar. Tidak ada pembeda, karena sejatinya kita semua manusia. 

"Fase anak-anak adalah fase yang indah dimana kita dibebaskan untuk bermain. Sehingga wajar kalau anak-anak tidak akan mengerti suara rakyat, karena mereka sibuk bermain di taman kanak-kanak."

Kutipan tersebut terinspirasi dari Alm. Abdurrahman Wahid. 

Salam damai untuk semuanya. Kami sedang berdemokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun