Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Cerita Mudik antara Sidoarjo dan Surabaya

23 April 2023   20:38 Diperbarui: 28 April 2023   17:03 3040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepadatan di jalan saat mudik ke Surabaya dari Sidoarjo by taksi. Dokpri 

Mudik, ada yang mengatakan berasal dari Bahasa Jawa mulih disek. Ada juga yang mengatakan menuju udik. Rata-rata orang bilang, mudik adalah pulang ke kampung halaman. 

Sebagai contoh bila para pendatang di kota besar pulang ke kampung halaman saat lebaran, disebut mudik. Apakah sebutan itu berlaku juga bagi para pendatang di daerah menuju kota besar? Bagi saya sih disebut mudik juga. 

Nah, kalau kota besarnya berdampingan, seperti Surabaya dan Sidoarjo. Apakah jika saya tinggal di Sidoarjo lalu pulang ke Surabaya juga disebut mudik? Bisa disebut mudik juga kan? 

Di sini saya ingin menceritakan pengalaman mudik kemarin. Usai salat Ied, seperti biasa kami saling bermaaf-maafan lebih dulu di rumah. Setelah itu menuju rumah tetangga sebelah kanan dan kiri yang tidak mudik. 

Belum semua tetangga yang dikunjungi, sebab kami sudah ditunggu keluarga lain di Surabaya. Biasanya, kami hanya bermotor ke Surabaya. Jarak yang hanya 15 kilometer kami tempuh dalam waktu 20 menit. 

Itu biasanya, tapi kali ini berbeda. Kami berencana pulang menggunakan taksi online karena kondisi suami saya belum memungkinkan bermotor jauh pascaoperasi. 

Saat memesan taksi lewat aplikasi, kami tidak segera mendapatkan jawaban. Bahkan, hingga tiga aplikasi kami gunakan untuk memesan satu kendaraan saja tidak segera mendapat jawaban. Bukan hanya satu HP yang kami gunakan, HP kedua putri saya pun ikut digunakan memesan taksi tapi tidak segera dapat kendaraan. 

Hampir satu jam kami menunggu. Mulai bertahan dengan satu pesanan, dibatalkan, pesan lagi harga naik, dibatalkan, pesan lagi naik lagi, dibatalkan lagi, belum juga dapat kendaraan. Bukan masalah kenaikan harga saat kami membatalkan pesanan, tapi karena tidak dapat-dapat. Siapa tahu setelah dibatalkan segera dapat. 

Ternyata benar, setelah pembatalan ke sekian, akhirnya kami mendapatkan kendaraan. Itu pun bukan mobil pribadi seperti layaknya taksi online, melainkan taksi biru bersimbol burung. Bukan masalah, yang penting kami dapat tumpangan agar bisa sampai ke rumah Ibu di Surabaya. 

Kepadatan di jalan saat mudik ke Surabaya dari Sidoarjo by taksi. Dokpri 
Kepadatan di jalan saat mudik ke Surabaya dari Sidoarjo by taksi. Dokpri 

Keluar dari gerbang perumahan, lewat jalan kampung mulai ramai. Setelah di jalan raya pun ternyata lebih ramai. Suasananya memang beda, banyak pemotor yang menggunakan baju muslim atau baju koko, tapi kepadatan jalannya mirip hari kerja. 

Mobil dan motor saling berebut jalan. Layaknya di hari kerja saling berebut demi sampai di tempat tujuan lebih awal. Meskipun dalam balutan gamis atau baju koko, tapi cara meliuk membelah jalanan tetap tak boleh kalah.

Beberapa percakapan sempat terjadi antara saya dan pengemudi taksi. Beliau juga heran dengan kondisi jalanan yang ramai pagi itu. Tak biasanya, saat Idulfitri biasanya jalanan sangat lengang, tapi hari itu begitu padat. 

Jarak tempuh yang harusnya 30 menit menggunakan mobil jadi lebih lama 20 menit. Ya, hampir satu jam kami di dalam taksi. Kepadatan jalanan membuat perjalanan kami sedikit terhambat. 

Ditambah lagi dengan adanya pembangunan fly over Juanda di daerah Waru. Mau tidak mau di sana juga terjadi penumpukan kendaraan, meskipun cepat terurai setelah melalui kawasan proyek. Perjalanan lancar kembali, tapi melambat lagi saat melalui jembatan layang Waru.

Pintu keluar bus dari terminal Bungurasih masih padat, ternyata banyak bus yang keluar mengangkut banyak pemudik. Sementara di Bundaran Waru juga padat, banyak mobil pribadi yang memenuhi jalanan. Mungkin juga taksi online, karena banyak yang membutuhkan kendaraan di saat-saat lebaran seperti ini. 

Lepas dari Bundaran Waru, ternyata kendaraan bisa melaju kencang. Suasana di dalam kota sendiri malah lebih sepi. Jalanan tidak macet atau padat dan lebih lancar. 

Bagi yang ingin melintasi jalanan mulai Buduran arah Surabaya lewat Waru, sebaiknya memilih waktu yang tepat dan kalau bisa menempuh jalur alternatif saja. Kemacetannya tidak bisa diprediksi. Tidak lama sih, tapi cukup berkeringat saat udara panas-panas begini. 

Setibanya di rumah Ibu, kembali heran saat kami memesan taksi lagi hendak ke rumah saudara. Pesan taksinya lama lagi. 

Apakah para pengemudi juga berlebaran semua? Biasanya banyak juga yang keliling. Tidak biasanya sih, karena hampir tiap tahun kami selalu menggunakan taksi saat berkunjung ke rumah saudara.

 Pertimbangannya saat menggunakan taksi, selain lebih nyaman dan aman, tidak ribet dengan parkir. Juga karena kendaraan yang kami punya terbatas, tidak bisa mengangkut semua anggota keluarga terlebih anak-anak dan orang tua. Kalau yang muda-muda lebih praktis bermotor. 

Beruntungnya, kami bisa dapat taksi setelah menunggu setelah jam. Sama dengan taksi sebelumnya, berwarna biru simbolnya burung. Yang kali ini beda jenis mobilnya, bukan sedan lagi tapi lebih besar dan longgar. 

Satu yang menarik perhatian saya, saat masuk dan setelah duduk di jok tengah. Ada permen dengan beberapa pilihan rasa. Tergantung di sandaran depan saya lengkap dengan tisu, air mineral, dan hand sanitizer. 

Salah satu taksi yang menyediakan beberapa pilihan permen dan air mineral untuk penumpang. Dokpri. 
Salah satu taksi yang menyediakan beberapa pilihan permen dan air mineral untuk penumpang. Dokpri. 

Saat saya tanyakan kepada pengemudinya, apakah permen ini dijual atau dibagikan gratis, ternyata jawabnya boleh ambil sesukanya. Pasti niat Pak Sopir Budiman ini untuk penumpang yang ingin membatalkan puasanya saat di dalam taksi, waktu puasa Ramadan kemarin.

Wuih, baik bener Bapak. Semoga pelanggannya banyak dan rezekinya melimpah ya, Pak. Saya cuma mengambil satu permen jahe, sudah izin Bapak juga. Masih ingat saya, Pak? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun