Masih ingat dengan beberapa film religi yang pernah ditayangkan di bioskop atau televisi di tanah air kita? Mana yang lebih bagus dan berkesan bagi Anda?
Apakah Sang Kiai, Sang Pencerah, 99 Cahaya di Langit Eropa, Perempuan Berkalung Sorban, atau Emak Ingin Naik Haji?
Atau yang lebih baru lagi? Merindu Cahaya De Amstel, Tuhan Minta Duit, Mengejar Surga, Cinta Subuh, atau Ranah 3 Warna?
Bagi saya, salah satu film religi yang terbaik dan sampai saat ini masih meninggalkan kesan aadalah film Perempuan Berkalung Sorban. Film yang mencerminkan Al Ummu Madrasatul Ula.
Meskipun film ini sudah diputar di bioskop-bioskop sejak tahun 2009, tetapi pesan moral di film yang dibintangi oleh Revalina S Temat ini masih relevan hingga saat ini.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini pernah mendapatkan nominasi untuk beberapa kategori, di antaranya ajang Festival Film Indonesia 2009, Festival Film Bandung 2009, dan Indonesian Movie Awards 2009.
Beberapa piala pun akhirnya diraih, kategori Pemeran Pembantu Pria Terbaik (Reza Rahadian, FFI 2009), Pemeran Utama Wanita Terfavorit (Revalina S Temat, IMA 2009), Pemeran Pembantu Pria Terfavorit (Joshua Pandelaki, IMA 2009), dan beberapa penghargaan lainnya.
Film ini memang bagus dan bisa dijadikan pelajaran tersendiri, terlebih bagi kaum wanita. Meskipun awalnya sempat terjadi kontroversi saat dirilis, karena dianggap melakukan kritikan terhadap tradisi Islam, tetapi tujuan dari film ini bukan untuk itu. Tujuan dari film ini adalah untuk pemberdayaan perempuan.
Dari film ini saya seperti menemukan kekuatan bahwa perempuan itu harus pandai, harus kuat, harus mandiri, dan harus tahu diri. Dari film ini juga saya mendapatkan pelajaran bahwa taat terhadap suami memang suatu kewajiban, tetapi suami seperti apa dulu yang wajib ditaati? Apakah suami biadab juga harus ditaati?
Wanita dalam Islam sangat diistimewakan. Ajaran Islam pun mengajarkan bagaimana seharusnya memperlakukan wanita dan bagaimana seharusnya wanita berperilaku. Kedudukan wanita memang tidak di atas pria, tetapi bukan berarti di belakang dan tertinggal.Â
Masih ingat beberapa perempuan yang ikut berjuang bersama Rasul? Hal itu membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kedudukan yang sama. Dan itu tidak dilarang oleh Rasul.
Sebagai seorang istri, wanita memang harus melayani suami dengan baik, mengutamakan keluarga, berbakti, dan taat pada suami. Namun, bukan berarti harus tunduk dan mengalah, menerima semua perlakuan suami hingga yang menyakitkan jiwa dan raga.Â
Perempuan memang harus mengabdi dan taat pada suami, selagi suaminya itu tidak melawan agama atau menyalahi aturan agama.
Rasulullah pun telah mencontohkan bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik, lho, terlebih kepada istri. Jika mengaku sebagai pemeluk Islam yang baik, terlebih jika kehidupannya berlatarbelakang pesantren, seharusnya lebih mengerti dan paham ajaran-ajaran Islam yang baik, to?
Di sisi lain, wanita sebagai madrasatul ula, madrasah pertama bagi anak-anaknya, seharusnya memiliki kemampuan yang lebih. Wawasannya harus luas. Pemikirannya jauh ke depan untuk mempersiapkan anak-anaknya menjadi generasi terbaik.
Sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair dalam bait syairnya diambil dari syaikh Shaleh al-Fauzan dalam kitab "Makaanatul mar-ati fil Islam"
"Al-ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq."
"Ibu adalah madrasah yang pertama bagi anaknya, jika kamu menyiapkannya dengan baik, berarti kamu menyiapkan lahirnya sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya."
Dalam konteks inilah Rasulullaah menyerukan kepada keluarga khususnya para Ibu untuk menjadi sekolah bagi anak-anaknya. Pendidikan kepada anak harus diberikan sejak dini, terutama pendidikan agama yang merupakan pendidikan dasar untuk membentuk kepribadian anak.
Adapun pendidikan yang harus diajarkan kepada anak antara lain pelajaran mengaji, akidah, ibadah, dan akhlak. Oleh sebab itu, sosok ibu harus terus belajar meningkatkan kemampuan diri, agar dapat membimbing dan membesarkan anak-anak. Tentunya dengan didampingi suami atau ayah supaya terbentuk anak yang saleh dan salihah.
Itulah pendapat pribadi saya dan  mengapa sampai sekarang masih terkesan dengan film tersebut. Selain karena pemerannya cantik dan tampan, pesan moral yang saya dapatkan sangat banyak. Bukan berarti setuju dengan Anissa yang memberontak ayahnya, saudara laki-lakinya, dan suaminya, tetapi pada kenyataan hidup yang harus dihadapi oleh Anissa.
Saya sangat setuju dengan apa yang dilakukan Anissa di film itu. Dengan membagikan buku kepada santriwati lain, dia berharap agar pemikiran mereka ikut maju dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Sebab tantangan hidup di luar pesantren akan lebih besar dan membutuhkan persiapan lebih untuk menghadapinya.
Sekali lagi, bukan berarti setuju kepada pemberontakan seorang anak kepada orang tuanya atau seorang istri kepada suaminya, tetapi lebih kepada sosok perempuan yang harus pandai, mandiri, kuat, dan bisa menempatkan diri.
Bisa dibayangkan bukan, apa yang akan terjadi terhadap nasib Anissa jika dia tidak memberontak dan memilih menurut pada Ayah, Kakak, dan suaminya yang semena-mena itu?
Ya, mungkin tidak akan ada cerita Perempuan Berkalung Sorban. Tidak akan ada perubahan kurikulum di pesantren itu terhadap nasib santriwatinya. Tidak akan ada ibu yang berwawasan luas sebagai madrasatul ula bagi anaknya.
Wallahualam bishawab. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.Â
Dirangkum dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H