Ramadan adalah bulan berkah yang bisa membawa berjuta kenangan bagi siapa saja. Kenangan saat sahur, saat berbuka, saat tarawih di masjid, bahkan saat siang hari. Terlebih bagi anak-anak yang baru belajar berpuasa.
Menjalani puasa sehari penuh tentu bukan hal yang mudah bagi anak-anak, terutama bagi yang baru belajar. Menahan godaan segarnya es cincau, legitnya gulali, atau gurihnya kerupuk sambal, menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi ajakan bermain di halaman dan berkejar-kejaran bersama teman sebaya di saat libur sekolah yang sangat menguras tenaga.
Kenangan-kenangan masa kecil yang indah itu tidak akan pernah bisa terlupakan. Terlebih saat bulan Ramadan kembali hadir. Saat kita menjalani ibadah di bulan yang sama tetapi dengan kondisi yang selalu berbeda setiap tahunnya.
Dulu, sewaktu masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar, jaman itu belum ada mukena khusus untuk anak-anak. Pada waktu itu jika anak perempuan ingin salat di masjid atau musala terdekat, yang digunakan adalah kain panjang atau jarit milik ibunya. Kalaupun ada yang memakai mukena pasti milik orangtuanya sehingga tampak kebesaran dan harus dipasang peniti di dagu agar terlihat rapi.
Saya pernah mengalami masa itu untuk beberapa Ramadan, sebelum akhirnya memiliki mukena sendiri. Mungkin juga hanya saya dan teman-teman di sekitar tempat tinggal kami yang melakukan hal itu, dikarenakan kondisi ekonomi orangtua kami yang belum mampu membelikan mukena atau karena memang belum ada yang jual mukena khusus untuk anak-anak. Apapun itu, toh semua telah berlalu. Hanya kenangan indah yang masih membekas dan menghias memori saya.
Â
Suatu hari di bulan Ramadan, bersama teman sebaya, saat menjelang azan Magrib kami sudah berbondong-bondong pergi ke masjid. Berbekal selembar kain panjang yang digunakan sebagai mukena dan selembar lagi digunakan untuk sajadah, kami berangkat dengan penuh sukacita. Tiada rasa malu atau minder karena tidak memiliki mukena, yang ada hanya semangat untuk mengikuti salat berjamaah di masjid.
Sesampainya di sana, kami menggelar sajadah. Dengan rapi kami mengatur saf, sambil bergantian mengambil wudu. Masih terbayang jelas, usai berwudu kami saling bergantian memasangkan mukena bagi teman yang lain.
Salah satu sisi pendek jarit diletakkan di bagian kepala seperti memakai kerudung, lalu disematkan kedua bagiannya di bawah dagu dengan peniti agar rambut tak terlihat. Ujungnya kami biarkan menjuntai untuk menutup tangan saat bersedekap. Lalu, bagian tengah kain kami ikat di pinggang, dari kedua sisi yang berlawanan kami ambil sebagian untuk diikat menutupi tubuh. Sedangkan sisi pendek yang lain terjuntai ke bawah menutupi kaki.
Entah, siapa dulu yang mengajarinya. Saya hanya ikut-ikutan memakai dengan cara yang sama karena semua teman perempuan yang salat juga mengenakan kain panjang sebagai pengganti mukena yang belum kami miliki.
Kalau orangtua kami tidak punya kain panjang sebagai pengganti, beberapa teman menggunakan dua sarung sebagai mukena atasan dan bawahannya. Cara memakainya sama dengan teman laki-laki saat memakai sarung model ninja. Atau bapak-bapak saat kedinginan jaga pos ronda. Bisa dibayangkan?
Yaitu dengan mengikat dua ujung sarung yang berbeda di belakang kepala. Lalu, sisi kain sarung yang lubang dibuka selembar ditarik ke atas hingga menutupi kepala dan tubuh. Bedanya, kalau untuk mukena ditarik lebih banyak agar wajahnya terlihat.