Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mampukan Aku (Part 3)

1 Maret 2023   14:45 Diperbarui: 1 Maret 2023   14:49 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deru sirine terhenti ketika ambulans berhenti tepat di depan IGD RSUD dr Soetomo. Dibantu oleh petugas keamanan yang berjaga di depan pintu masuk, sopir ambulans membuka pintu dan mengevakuasi pasien. Seorang perawat yang ikut mendampingi selama dalam perjalanan pun menyiapkan segala sesuatunya. 

Setelah mengisi beberapa data dan melakukan serah terima dengan pihak rumah sakit rujukan, perawat dan sopir meninggalkan kami. Perawatan suamiku kini telah beralih ke rumah sakit yang baru. Team dokter spesialis orthopaedi yang sekarang bertanggung jawab dan melanjutkan penyembuhan itu. 

Seorang dokter yang masih muda datang menghampiri. Dengan membawa map berisi berkas, dokter tampan itu menanyakan beberapa hal berkaitan dengan riwayat kesehatan suamiku. Beberapa data juga kami berikan dan menandatangani beberapa lembar persetujuan. 

"Dok, benar ini nanti kalo saya tanda tangani biayanya akan ditanggung BPJS? Kalo harus bayar sendiri gimana, Dok. Info yang saya dengar kalo kecelakaan lalu lintas tidak ditanggung," tanyaku. 

"Ibu, di sini kan rumah sakit pendidikan, insyaallah semua ditanggung, Bu. Tapi lebih jelasnya Ibu tanyakan di bagian administrasi  atau di loket pendaftaran. Setahu saya kalo Ibu melengkapi persyaratan yang diminta pasti akan ditanggung, sekarang datanya sudah lengkap tolong Ibu masukkan ke bagian loket pendaftaran,  ya," ucap dokter berkulit putih itu. 

Aku masih sendiri di IGD, mengurus administrasi dan lain-lain. Adik-adikku belum datang menemani karena masih sibuk dengan urusan lain yang salah satunya mengurus surat di kepolisian termasuk surat kehilangan. Kebetulan hari itu Minggu, mereka sedang libur jadi bisa membantu. 

 Saat hendak memasukkan berkas ke loket pendaftaran rawat inap, adikku datang membawa surat dari kepolisian. Tepat waktu. Begitu surat saya sodorkan ke petugas, dicek kelengkapannya, petugas lalu meminta surat yang dimaksud. 

Segera kuserahkan fotokopi dari surat itu. Sesaat kemudian, petugas mengembalikan berkas sambil berkata, "Ibu, besok pagi berkas ini dimasukkan ke Amira, ya. Di gedung sebelah, loket I, nanti akan ditandatangani acc Jasa Raharja. Jangan sampai hilang, ya." 

Alhamdulillah, berarti benar semua biaya akan ditanggung? Allahu Akbar. Terimakasih, Ya Allah, Kau jawab kekhawatiran kami.

Aku dan adikku kembali ke brankar tempat suamiku terbaring. Dia tertidur rupanya. Syukurlah kalau bisa tidur, artinya ia tidak kesakitan. Justru aku yang belum tidur, lebih dari 24 jam. Lapar pun tak kurasa. Berbekal roti dan susu kemasan yang dibelikan adik iparku, tubuhku masih mampu bertahan hingga siang itu.

Dua bungkus nasi diserahkan adikku untuk kami, tetapi karena suamiku tidur aku disuruh makan lebih dulu. Meski lauk yang ada adalah lauk kesukaanku, tetapi rasanya tak karuan. Lidahku tak bisa membedakan manis, gurih, dan pedas. Semua terasa hambar. 

Namun, aku harus makan. Tubuhku harus kuat. Siapa yang akan mengurus suamiku kalau bukan aku? 

Sore menjelang  Ashar, adikku pamit. Ia akan mengantarkan surat dari kepolisian itu ke rumah sakit sebelumnya. Berharap biaya yang telah digunakan di sana bisa segera dikembalikan. Jumlahnya tak sedikit bagiku. 

Aku sendiri lagi. Bisa dipahami juga saat itu Covid memang sudah melandai, tetapi tidak menutup kemungkinan virus-virus masih bertebaran di sana. Makanya dibatasi jumlahnya pengunjung atau penunggu.

Menjelang Magrib, baru kami dapat kepastian menginap di salah satu ruangan. Lega rasanya, artinya aku bisa merebahkan tubuh yang sudah lelah ini. Petugas pun datang memandu kami menuju ruang perawatan itu. 

Sesampainya di sana, kuhubungi adikku yang lain. Aku minta dikirimkan perlengkapan mandi, salat, alas tidur, dan beberapa baju ganti. Gerah sekali rasanya tubuh ini. Aku ingin segera mandi dan ganti baju. 

Proses pemeriksaan masih terus berlangsung malam itu. Informasi dari dokter, operasi tak bisa segera dilakukan karena harus dijadwalkan dulu. Belum jelas kapan jadwalnya keluar, tetapi sudah didaftarkan. "Tunggu antrean, ya, Bu," ucap salah satu dokter yang bertugas. 

Tak ada pilihan lain selain menunggu. 

Sambil menunggu jadwal, kondisi suamiku juga harus terus dipantau. Harus sesuai dengan syarat dan keadaan sebelum dilakukan operasi. Salah satunya pemeriksaan fungsi ginjal, jantung, tekanan darah, dan kadar gula harus normal.  

Seminggu berlalu, pasien yang datang silih berganti dengan berbagai keluhan dan kondisi yang menyedihkan. Aku jadi teringat dua putriku yang waktu itu tinggal di rumah Ibu. Aku khawatir saat mereka berangkat kuliah atau sekolah, sebab yang kulihat di sekitarku adalah pasien korban kecelakaan. 

Aku stres sendiri melihat keadaan di sana. Jadi ketakutan saat pagi atau sore menjelang anak-anak pulang ke rumah. Satu per satu selalu kutelepon untuk memastikan keadaannya. Untunglah mereka selalu aman, selamat sampai di rumah. 

Teman, kerabat, sahabat, dan saudara datang bergantian untuk memberi dukungan dan perhatian. Meski ada aturan tak boleh di bezuk pun selalu ada saja alasan mereka untuk bisa masuk dan melihat keadaan kami. Dukungan dan perhatian mereka itulah yang jadi motivasiku untuk tetap semangat menghadapi segalanya. 

Souvenir berharga, dibagikan kepada seluruh pasien saat hari ulang tahun, dokpri 
Souvenir berharga, dibagikan kepada seluruh pasien saat hari ulang tahun, dokpri 

Hari yang kunantikan tiba. Dokter memanggilku untuk mengurus persyaratan operasi, salah satunya ke bank darah. Aku lega, meski bercampur khawatir dengan operasi yang akan berlangsung. 

Hari itu, Selasa, 1 November 2022 pukul 21.00. Suamiku didorong masuk kamar operasi. Aku menunggunya di tempat lain yang sudah disediakan. 

Tak henti bibirku melafalkan asma-Nya. Tak henti-hentinya doa kupanjatkan untuk kelancaran operasinya. Berharap yang terbaik untuk kesembuhan suamiku. 

Seorang sahabat menanyakan kondisiku malam itu. Meski hanya lewat chatting di aplikasi hijau, di tengah malam yang dingin, dia menyempatkan diri menemaniku hingga pagi. Ia banyak bercerita tentang pengalamannya menjaga suaminya yang dulu juga pernah sakit. Semua tak ubahnya dengan kejadian yang kurasakan. 

Dia memompakan semangat tak henti-hentinya. Dukungan dan doa darinya menjadi sesuatu yang lain bagiku. Darinya seolah aku mendapatkan kekuatan baru. 

Terimakasih, Sobat, perhatian, dukungan, dan kebaikanmu tak akan terlupakan. Semoga Allah yang membalas semua itu dengan rezeki lain. 

Usai operasi, suamiku masih di ruang pemulihan. Namun, paginya dikembalikan ke ruang perawatan. 

Tak butuh waktu lama di sana. Sehari setelah operasi, suamiku diizinkan pulang. 

Alhamdulillah. Akhirnya kami bisa pulang dan berkumpul lagi bersama anak-anak. 

Terimakasih atas pengalaman berharga ini, Ya Robb. Terimakasih atas kasih sayang-Mu yang indah. Terimakasih telah menguatkan kami dengan ujian-Mu. 

Ditulis khusus untuk Kompasiana, sebagai pengalaman berharga yang tak akan terlupakan. 

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun