Kami memang memberinya nama Prince, putraku satu-satunya itu. Sebab, setelah usia Prince genap lima tahun, Hartawan menghendaki aku operasi angkat rahim dan berjanji akan memberikan apa saja jika aku mau memenuhi keinginannya itu.
Entah, dari mana pemikiran itu muncul, tak pernah sebelumnya Hartawan menyatakan keinginannya itu. Namun, tiba-tiba aku diantar ke dokter kandungan untuk konsultasi mengenai hal itu.
Tak ada yang bisa kulakukan selain mengiyakan keinginannya. Hanya itu satu-satunya jalan agar aku tetap mendapat nafkah lebih demi membantu orang tuaku. Hidup serba kecukupan akhirnya kudapatkan.
Kedatanganku sebagai istri kedua memang mengganggu kebahagian istri pertama. Namun, ada hal lain yang memang tak didapat Hartawan dari istri pertamanya sehingga ia menikahi aku.Â
***
Kuinjak pedal rem Honda Civic merah, berhenti tepat di halaman sebuah hotel bintang tiga. Seorang lelaki muda datang menyambutku dan siap memarkirkan mobil yang warnanya sesuai dengan gaun yang kukenakan hari itu.Â
Beberapa mata tertegun menatapku, saat turun dari mobil hingga sampai ke lobby. Setelah diarahkan oleh petugas, aku masuk lift menuju lantai di mana reuni akan digelar.
Benar saja, teman-teman tak ada yang mengenali. Aku duduk di deretan bangku paling depan posisi kanan panggung. Tak seorang pun yang menyapa.Â
Tiga puluh menit berlalu, datanglah seorang perempuan yang berusaha ramah terhadapku. Kami mencoba saling akrab, menanyakan nama dan lainnya tentang masa-masa di sekolah dulu.Â
Tak mengira, ternyata dia adalah teman sebangkuku saat duduk di kelas satu. Dia sama sekali tak mengenali. Aku pun tak bicara banyak, tak ingin terlibat pembicaraan lebih dalam.
Aku tak ingin kehidupanku diketahui, diam mungkin lebih baik, tak bercerita banyak hingga acara hampir usai. Kami masih duduk berdampingan dalam diam. Tak banyak yang kami obrolkan.