Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Salahkah Aku

5 April 2022   13:26 Diperbarui: 5 April 2022   13:30 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: dokumen pribadi

Sore itu, aku bebenah menyiapkan dagangan untuk esok hari. Sebagai penjual makanan matang, segalanya harus kupersiapkan sebelumnya agar pagi hari tidak tergesa-gesa. Mulai mengupas bawang, memetik sayur hingga menggoreng bumbu.

Saat aku tengah fokus, tiba-tiba dikejutkan oleh dering HP di sebelahku. Terbaca nama Ari di layarnya, tetanggaku yang satu ini sangat istimewa. Tanpa panjang lebar, ia mengajakku pergi ke Jogja, berangkatnya nanti tepat jam Cinderella.

Kulirik jam di dinding, mana mungkin aku menyanggupinya, beberapa masakan sudah siap bumbunya dan tinggal mencampurkan besok pagi. Lagi pula, mana mungkin aku diizinkan pergi oleh suamiku, berangkatnya saja pukul dua belas malam. Banyak pertimbangan sehingga aku memutuskan untuk tidak mengikuti kepergiannya, meskipun sebenarnya aku ingin sekali.

Jogja adalah kota kenangan. Lama sekali aku tak mengunjungi kota gudeg itu, tepatnya sejak berhenti bekerja dari salah satu hypermarket ternama. Banyak kenangan yang telah kuukir di sana, mengunjunginya kembali adalah impian yang selama ini kupendam.

Apa salahnya mencoba, aku akan minta izin pada Hans, meski jawabannya sudah bisa kutebak, pikirku.

"Hans, aku boleh ikut Ari ke Jogja? Berangkatnya nanti jam dua belas malam," ucapku ragu.

Spontan Hans menjawab, "Gak usah! Tahu nggak ini lagi musim hujan, banyak penyakit lagi!"

Melihat caranya menjawab dengan penuh emosi, aku diam dan mengalah. Toh, aku sudah memutuskan tidak ikut. Aku segera berlalu dan melanjutkan pekerjaanku.

Setelah beberapa bumbu masakan selesai, entah kenapa badan ini rasanya lelah sekali. Apa mungkin karena tidak diizinkan pergi, otot-ototku yang berontak? Ah, daripada lebih parah, kuputuskan besok pagi warung kuliburkan.

Segera kusampaikan keputusan itu pada Hans, agar tak meneruskan memetik sayur yang lain. Tanpa pernah menduga sebelumnya, tiba-tiba dia marah. Pisau kecil yang digunakan untuk memotong sayur ia acungkan.

"Trus, gimana ini, hah? Gimana ini?" Suaranya berat dan penuh tekanan emosi.

"Gimana apanya? Kalo aku lelah apa mau dipaksa jualan? Kamu mau yang jualan?" tanyaku balik.

Rupanya, setan yang sedang melintas menguasai tubuhnya. Seketika, ia berdiri dan mengacungkan pisau ke arahku. Dipegangnya leherku seolah ingin menusukkan pisau itu ke arahku.

Aku yang duduk di bangku kecil di sudut dapur hanya diam. Aku pun tahu dia tak punya nyali untuk melakukan itu. Tanpa rasa takut, aku malah menantangnya.

"Teruskan! Lakukan kalo kamu mau! Aku tidak takut mati!"

Putriku yang sedari tadi diam-diam mendengar pertikaian kami, tiba-tiba keluar dari kamar dan mendatangi kami. Dengan berurai air mata, ia menyadarkan ayahnya yang tengah dikuasai amarah.

"Hentikan! Hentikan, Yah! Ayah selalu begitu terhadap Bunda. Selalu memaksa dan menyalahkan Bunda! Aku benci Ayah!" teriaknya.

Lelaki kekar itu tiba-tiba lemas tubuhnya. Ia bersimpuh di sebelahku. Memohon maaf dengan berurai air mata. Ia menyesal dengan apa yang telah dilakukannya.

"Maafkan aku, Ling, aku tak tahu kenapa bisa melakukan itu padamu. Sedikit pun aku tak ada niat untuk menyakitimu." Bulir bening deras mengalir dari sudut matanya.

Aku hanya terdiam, tak ada satu kata pun yang sanggup terucap. Aku pun tak mengerti, kenapa dia bisa setega itu padaku. Pisau itu memang tak berhasil melukai tubuhku, tetapi cukup mematikan perasaanku.

Aku berlalu, mengambil air wudu lalu masuk kamar dan mengunci pintunya. Tak ingin dia mendekat dengan segala penyesalannya. Tak ingin lagi mendengar segala maaf yang ia mohonkan.

Saat itu, hatiku rasanya beku. Tak ada yang ingin kulakukan, meskipun hanya untuk meluapkan emosi. Semua rasa telah luruh bahkan air mata pun ikut mengering.

***

Sebelum azan Subuh berkumandang, aku keluar kamar, saat yang lain masih terlelap. Kuambil wudu, qiamulail, lalu merenung. Kuingat semua kejadian akhir-akhir ini, terutama yang berkaitan dengan pertikaianku dengan Hans.

Semua pertengkaran selalu berkaitan dengan uang dan pemenuhan kebutuhan hidup. Hans yang baru saja dikeluarkan dari perusahaan tempatnya bekerja, mungkin merasa khawatir. Uang pesangon yang tak banyak dan kebutuhan yang makin mencekik, membuatnya selalu was-was akan pemenuhannya.

Sementara, aku selalu santai. Prinsipku, Tuhan akan selalu memenuhi kebutuhan dan mengirimkan rezeki kepada hamba-Nya. Selama hamba itu mau berusaha, akan ada jalan menjemput rezeki.

Berbagai cara telah kucoba agar dapur tetap mengebul dan kebutuhan sekolah anak-anak terpenuhi. Namun, beda dengan Hans, ia selalu khawatir kami kekurangan, tetapi tak ada sesuatu yang ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.

Usai melakukan salat Subuh, aku masih tak ingin membuka pintu kamar. Hans beberapa kali mengetuk pintu dan menyuruhku membukanya, dengan alasan sudah azan Subuh, waktunya salat.

Tanpa jawaban dan tanpa tindakan, aku masih termenung di atas sajadah, mengabaikan semua panggilan Hans. Tak kusadari, bulir bening mengalir begitu deras dari sudut mata. Entah mengapa, baru pagi itu emosiku tersulut.

Rasa sesal dan amarah bercampur jadi satu. Terbayang wajah Hans saat memberikan segeblok uang kepada sepupu perempuannya. Padahal, uang itu sangat kami butuhkan.

Dulu, ketika masih ada kakak perempuannya, jika kami membutuhkan uang selalu datang berdua untuk meminjamnya. Bahkan, saat mengembalikan pun selalu bersama. Dengan alasan biar terbuka semua, tanpa ada yang disembunyikan.

***

Waktu terus berjalan. Kebutuhan makin banyak dan mencekik. Beberapa kali Hans mengeluh butuh uang untuk usaha. Ia mendesak saudara kandung lainnya untuk bersedia menjual tanah warisan.

Ingin meminjam kepada saudara laki-lakinya, ia malu. Sedangkan kakak perempuan satu-satunya yang biasa meminjami telah berpulang. Tak ada upaya lain selain menjual warisan.

Lagi-lagi, aku yang selalu diandalkan untuk maju lebih dulu. Mulai mencari informasi harga tanah, proses penjualan dan kelengkapan surat-surat di notaris, aku yang diminta untuk mengurus semua. Dia hanya menjadi tukang ojek yang setia mengantar ke mana pun.

Namun, ketika tanah mulai laku, saat bertemu dengan pembeli dan notaris, aku tak dilibatkan lagi. Bukan masalah bagiku, toh, semua demi keluarga kami.

Kini, ketika ia memiliki uang hasil penjualan sawah, sedikit pun tak ada aku di ingatannya. Justru ia lebih sering bicara dengan sepupu perempuannya, yang datang bagai malaikat, tetapi juga sebagai iblis pengkhianat.

Dengan berbagai alasan, uang itu berhasil pindah tangan ke rekening perempuan iblis itu. Sedangkan untukku? Satu sen pun tak ada yang jatuh.

Mengapa denganku dia tega? Hanya saat susah saja dia selalu mengajakku, tetapi saat bahagia dan memiliki uang lebih, aku yang tersia-sia?

Tuhan, salah apakah aku? Mengapa ujian ini tak henti Kau berikan padaku? Aku hanya hamba-Mu yang lemah. Mungkinkah aku kuat menerima cobaan Ini? Aku merintih di atas sajadah.

"Bunda, Bunda masih tidur?" Suara lembut dan lugu mengusik kesendirianku. Suara bocah tanpa dosa itu menyadarkanku kembali, ada dia yang harus kujaga dan kurawat.

Aku bangkit, menyeka wajah lalu membuka pintu untuk buah hatiku.

"Bunda sudah bangun, Sayang. Ada apa?"

"Bun, besok lusa sudah puasa, ya? Aku boleh ikut puasa 'kan?" tanya putra bungsuku.

"Adik sudah kuat untuk puasa? Sampai jam berapa?"

"Kata ustazah, aku disuruh puasa sampe duhur, buka dulu, lalu puasa lagi. Katanya, aku disuruh belajar menahan diri, belajar sabar. Bunda juga sabar, ya. Biar dapat surga, seperti kata ustazah."

Tanpa sadar, lenganku meraih bocah berusia enam tahun itu dalam pelukan. Benar yang dikatakan malaikat kecilku. Aku harus menahan diri, bersabar dan menerima semua ujian dengan ikhlas.  

Aku tak peduli lagi air mata yang bercucuran membasahi pundaknya. Kini, tekatku hanya satu, mendidik dan membesarkan dia dengan baik. Meskipun harus menderita, bersama ataupun tanpa ayahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun