Tumpangan Pertama (Part 1)
Harum semerbak parfum pria yang tiba-tiba menguar sepertinya tercium oleh Risty, seiring langkah sesosok pemuda yang baru keluar dari pintu samping rumahnya. Gadis manis yang duduk sendiri di teras depan itu tampak keheranan, seolah bertanya-tanya dalam hati. Siapa dia, apakah mahasiswa baru yang indekos di sini?Â
Sebelumnya ia tak pernah melihat lelaki itu keluar atau masuk ke kos-kosan yang ada di samping rumahnya, semua penghuni kamar kos pun sudah dikenalnya dengan baik. Bersarung kotak-kotak biru lengkap dengan koko putih dan berpeci hitam, lelaki itu melangkah keluar pagar dan tampak menuju musala di ujung gang. Risty hanya mengikuti langkah pemuda itu dengan pandangan, berharap dia menoleh kebelakang sehingga bisa melihat wajahnya.
Namun sayang, hingga jauh langkah itu dan punggungnya pun tak terlihat lagi karena tertutup tanaman hias di depan rumah, pemuda tersebut masih tak menoleh. Risty kembali duduk, ia harus menuntaskan bacaannya beberapa halaman lagi. Akan tetapi, kumandang azan Magrib mulai terdengar, segera Risty memberesi buku-buku yang diletakkannya di meja teras. Ia bergegas masuk lalu menutup pintu depan.
Saat hendak menuju kamar, gadis berkulit putih itu berpapasan dengan ibunya. Ia segera menanyakan keberadaan pemuda itu di rumah kos yang  mereka miliki. Ibunya membenarkan bahwa lelaki yang dimaksud putri sulungnya itu memang baru indekos di rumah mereka.
"Namanya Benno, ia mahasiswa teknik, baru masuk tadi siang. Kenapa, kamu sudah ketemu sama dia?" tanya Bu Minto, ibunda Risty.
"Barusan Risty lihat dia, pake sarung dan peci lengkap sepertinya mau sholat jamaah. Dari mana asalnya Benno, Bu?" tanya Risty. Ia semakin penasaran dengan sosok bernama Benno itu.
"Dari Sragen atau dari Madiun, ya, pokoknya dari daerah sana. Tumben kamu tanya-tanya, biasanya cuek saja kalo ada anak kos baru, naksir?"
"Eem ... kalo lihat ia pake sarung sama peci lalu ke masjid berarti dia alim, ya, Bu. Beda lagi kalo pake sarung sama peci lalu pergi ke pos ronda," canda Risty menggoda ibunya, ia berlalu sambil tersenyum dan menyipitkan mata.
"Maksudmu? Eh, selesaikan dulu sekolahnya, belajar yang benar, gak usah aneh-aneh!" Bu Minto mewanti-wanti putri kesayangannya itu.
Di dalam kamar, Risty tersenyum sendiri di depan meja belajarnya setelah mendengar cerita dari ibunya. Pikirannya seperti melayang. Ada sesuatu yang menarik dari Benno bagi siswi kelas dua SMA itu, meskipun ia belum mengenal dekat.
"Namanya Benno, siapa, ya, kepanjangannya? Dari Sragen atau Madiun, wah, pasti kalem dia, alim lagi, sholat aja ke musala. Ah, Mas Benno, kenapa juga aku jadi kepikiran dia? Wajahnya saja aku belum lihat, baru juga lihat punggungnya, orangnya tinggi, sih, bodinya juga atletis. Iya kalo orangnya ganteng atau manis, nah kalo ... iihh, aku kok jadi mikir yang aneh-aneh?" gumamnya.
Pagi itu, saat Risty hendak berangkat ke sekolah, tanpa sengaja bersamaan dengan Benno yang juga akan berangkat kuliah. Kebetulan motor yang akan dinaiki Benno bannya kempis, dengan alasan itu ia ingin meminjam pompa angin pada Pak Minto yang saat itu juga sedang berada di halaman.
"Selamat pagi, Pak, maaf, kalo mau pinjam pompa ada nggak, ya? Ban saya kempis, mungkin bocor dari semalam," tanya Benno pada Pak Minto yang sedang merapikan tanaman di halaman.
"Oh, ada, Nak, sebentar Bapak ambilkan," jawab Pak Minto sambil berlalu hendak mengambil pompa. Di saat bersamaan Risty keluar dari teras, seketika itu Pak Minto menyuruhnya mengambilkan pompa di ruang tengah.
"Risty, tolong ambilkan Mas Benno pompa, Nak. Kasihan ban motornya kempis, nanti biar ditambal di ujung gang," perintah Pak Minto pada Risty.
Sesaat Risty terdiam, ia terpaku melihat Benno yang semalam dibicarakannya dengan Ibu. Sekarang ia bisa melihat sendiri dari dekat wajah Benno.
"Oh, ini yang namanya Mas Benno? Sebentar, ya, Mas, saya ambilkan dulu," ucap Risty setelah menyadari pandangan Benno juga tertuju padanya. Ia bergegas masuk mengambil pompa yang tersimpan di sudut ruang tengah.
"Itu putrinya Pak Minto?" tanya Benno memecah keheningan.
"Iya, anak pertama saya, putri satu-satunya. Adiknya laki semua, Mas, dia yang paling cantik, saingannya cuma sama ibunya," canda Pak Minto menjawab pertanyaan Benno.
"Kelas berapa, Pak? Sudah mau lulus?"
"Masih kelas dua, kok, Mas, masih satu tahun lagi," jawab Risty secepatnya sebelum Pak Minto menjawab. Benno terkejut, tiba-tiba gadis itu sudah di sampingnya sambil menyerahkan pompa angin.
Belum sempat Benno menjawab, Risty sudah berjalan ke arah bapaknya hendak berpamitan. Setiap hari ia terbiasa berangkat ke sekolah dengan angkutan kota.Â
Meski harus berjalan ke ujung gang karena angkot yang dinaiki tidak lewat depan rumahnya, gadis lincah itu tetap bersemangat saat berangkat maupun pulang sekolah.
Udara pagi yang segar dan sinar mentari yang belum menyengat menjadi teman Risty berjalanan menuju jalan raya. Kicau burung yang berangkat mencari makan tak jarang juga mengiringi langkah kecilnya. Semerbak harum bunga kemuning dari salah satu rumah yang dilewatinya menjadi aroma terapi khusus bagi Risty.
Di tengah perjalan, saat Risty belum sampai di ujung gang, tiba-tiba Benno memanggilnya. Ia bermaksud menawarkan tumpangan karena kebetulan searah.
"Risty, aku antar sampai ke ujung gang, yuk! Kebetulan aku juga ke arah sana," ajak Benno sambil menurunkan kecepatan motornya. Ia berusaha menyejajarkan laju motor dengan langkah Risty.
"Lhoh, motor Mas Benno kan bocor bannya, nanti kalo dinaiki berdua kempis lagi lho, Mas," jawab Risty.
"Nggak apa-apa, di depan kan ada tukang tambal ban, lagian belum tentu bocor, kok, nanti bisa kutambal di sana kalo kempis lagi. Kamu nggak telat?"
"Aku sudah biasa berangkat jam segini, sih, nggak telat sampai sekolah. Mas Benno duluan aja, nanti telat, lho, Mas," saran Risty.
"Nggaak, ayo, naik! Keburu siang." Â
Tanpa bisa beralasan lagi, Risty akhirnya naik ke motor Benno, mereka berboncengan meski hanya sampai di ujung gang. Jantung Risty sepertinya berdetak tak menentu hingga aliran darahnya pun tak lancar ke seluruh tubuh. Itu bisa terlihat di wajah gadis imut itu saat turun dari motor.
"Kok, wajahmu jadi pucat gitu? Takut, ya, kubonceng? Aku kan gak ngebut?"
Pertanyaan Benno semakin membuat Risty tersipu. Ia tampak bingung dan tak tahu harus berkata apa. Raut wajahnya sangat berbeda dengan saat di rumah tadi, senyum dan tatapan matanya menimbulkan tanya bagi Benno.
"Kamu sakit? Atau aku antar sampai sekolah aja, ya, nggak apa-apa kan?"
"Ee ... eng--gak usah, Mas, Risty berangkat naik angkot saja," jawab Risty gugup.
"Sudah, ayo, naik aja. Sekolahmu di mana, sih?" tanya Benno sambil melihat emblem lokasi sekolah Risty.
Untuk ke dua kalinya, Risty tak dapat menolak tawaran Benno yang memaksanya ikut diboncengan diantar hingga ke sekolah. Antara senang, gugup, dan malu, itulah rasa yang ada di dalam hati Risty saat itu. Ia tak dapat mengungkapkan perasaannya tersebut, hanya raut wajahnya yang memancarkan campur aduknya rasa itu.
Saat tiba di depan gerbang sekolah, gadis berambut sebahu itu segera turun. Ia hanya mampu mengucapkan kata terima kasih kepada Benno sambil menunduk.Â
Tak ingin berkata lebih banyak lagi karena harus menyembunyikan rona di wajahnya yang entah seperti apa terlihatnya, gadis itu segera berlalu.
Rama, teman sekelas Risty yang kebetulan melihat kejadian itu segera menghampiri. Selama ini dia memang menyukai gadis berwajah manis itu, tampaknya ada api cemburu di matanya. Tak sabar ingin mengetahui kejelasannya, Rama pun bertanya langsung pada Risty.
"Risty, kamu barusan diantar siapa? Katanya nggak punya kakak, itu tadi pasti bukan adikmu kan?" tanya Rama penuh selidik.
Saat Risty hendak menjawab, terdengar suara bel tanda masuk berbunyi. Mereka pun bergegas masuk karena tak ingin terlambat masuk kelas.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H