Belum sempat Benno menjawab, Risty sudah berjalan ke arah bapaknya hendak berpamitan. Setiap hari ia terbiasa berangkat ke sekolah dengan angkutan kota.Â
Meski harus berjalan ke ujung gang karena angkot yang dinaiki tidak lewat depan rumahnya, gadis lincah itu tetap bersemangat saat berangkat maupun pulang sekolah.
Udara pagi yang segar dan sinar mentari yang belum menyengat menjadi teman Risty berjalanan menuju jalan raya. Kicau burung yang berangkat mencari makan tak jarang juga mengiringi langkah kecilnya. Semerbak harum bunga kemuning dari salah satu rumah yang dilewatinya menjadi aroma terapi khusus bagi Risty.
Di tengah perjalan, saat Risty belum sampai di ujung gang, tiba-tiba Benno memanggilnya. Ia bermaksud menawarkan tumpangan karena kebetulan searah.
"Risty, aku antar sampai ke ujung gang, yuk! Kebetulan aku juga ke arah sana," ajak Benno sambil menurunkan kecepatan motornya. Ia berusaha menyejajarkan laju motor dengan langkah Risty.
"Lhoh, motor Mas Benno kan bocor bannya, nanti kalo dinaiki berdua kempis lagi lho, Mas," jawab Risty.
"Nggak apa-apa, di depan kan ada tukang tambal ban, lagian belum tentu bocor, kok, nanti bisa kutambal di sana kalo kempis lagi. Kamu nggak telat?"
"Aku sudah biasa berangkat jam segini, sih, nggak telat sampai sekolah. Mas Benno duluan aja, nanti telat, lho, Mas," saran Risty.
"Nggaak, ayo, naik! Keburu siang." Â
Tanpa bisa beralasan lagi, Risty akhirnya naik ke motor Benno, mereka berboncengan meski hanya sampai di ujung gang. Jantung Risty sepertinya berdetak tak menentu hingga aliran darahnya pun tak lancar ke seluruh tubuh. Itu bisa terlihat di wajah gadis imut itu saat turun dari motor.
"Kok, wajahmu jadi pucat gitu? Takut, ya, kubonceng? Aku kan gak ngebut?"