Seorang lelaki bermotor berhenti tepat di depan ibuku yang sedang berdiri di dekat gerbang sekolah. Sesaat mereka berbicara serius, tampaknya sedang merencanakan sesuatu. Aku tak begitu menghiraukannya karena bel telah berbunyi, yang berarti aku harus kembali belajar di dalam kelas.
Aku tak tahu apa saja yang telah dilakukan Ibu dengan lelaki itu, yang jelas saat hendak pulang sekolah kulihat Ibu baru turun dari boncengan motor. Ia lalu menghampiriku, mengajakku pulang dengan berjalan kaki. Sedangkan lelaki itu entah siapa dan pergi ke mana, aku takut menanyakannya pada Ibu.
Siang itu, saat masih jam kantor tiba-tiba Ayah pulang dengan segunung amarah. Ia parkirkan motornya dengan tergesa dan terlihat begitu marah pada ibuku. Perang mulut pun tak dapat dihindari, keduanya saling menyalahkan.
Aku hanya terdiam di teras depan. Berusaha mencerna setiap kata yang meluncur dari keduanya. Namun, aku masih tetap tak paham dengan kata dan kalimat mereka.
Hening sejenak, sebelum akhirnya ibuku keluar dengan membawa tas jinjing.
"Ayo, kita pulang ke rumah Nenek!" ajak Ibu penuh emosi.
"Lho, kenapa, Bu?" tanyaku masih bingung.
"Sudah, nggak usah banyak tanya! Ayo cepat berangkat!" Suara Ibu makin tinggi.
Aku hanya bisa mengikuti langkah Ibu dari belakang. Tanpa tahu maksud dan tujuan Ibu meninggalkan rumah Ayah. Aku juga tak berani bertanya bagaimana dengan sekolahku besok, sedangkan saat ini belum waktunya liburan.
Kami berangkat tanpa membawa apapun dari rumah, selain beberapa baju yang dibawa Ibu dalam tas jinjingnya. Sementara rumah Nenek sangat jauh letaknya dengan rumah Ayah. Buku dan semua peralatan sekolahku pun tak ada yang kubawa.
Sesampainya di rumah Nenek, suasana tegang masih kurasakan. Aku yang masih berusia sebelas tahun belum mampu mencerna kata dan kalimat dari pertengkaran ayah dan ibuku. Hanya ketakutan yang kurasakan akibat luapan amarah Ibu.