Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat dari Editor Kompas.com yang Menginspirasi antara Ekonomi dan Kesehatan

23 Juli 2020   12:00 Diperbarui: 23 Juli 2020   13:02 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar tangkapan layar email dari editor Kompas.com

Pertama kali menerima email dari Mas Wisnu Nugroho, editor Kompas.com, saya sangat kaget sekali. Bagaimana tidak, saya yang baru bergabung dengan Kompasiana pernah melakukan kesalahan saat awal menayangkan artikel, hingga mendapat pesan khusus dari admin Kompasiana. 

Eh, dapat lagi email dari editor Kompas.com, kesalahan apalagi yang telah saya lakukan? Pertanyaan yang langsung muncul saat membaca judulnya saja. Biasa, judul yang menarik akan selalu membuat orang ingin tahu isi cerita di dalamnya. 

Sama halnya dengan saya, buru-buru menanggapi judul sebelum membaca isi. Setelah email dibaca, ternyata nggak ada hubungannya sama sekali antara email dari Mas Wisnu Nugroho dan akun saya di Kompasiana. 

Sekali, dua kali, menerima email rasanya senang saja. Membaca rangkuman berita dari peristiwa beberapa hari terakhir. Namun, beberapa minggu lalu email sempat terhenti. Entah karena apa saya juga tidak tahu pasti. 

Kemarin lusa, ternyata saya menerima email lagi masih dari Mas Wisnu. Alhamdulillah, beliau masih sehat. Saya jadi tahu rangkuman berita sepekan sekaligus memperbarui perkembangan berita. 

Berkaitan dengan topik pilihan di Kompasiana, saya jadi punya gambaran untuk menulis setelah membaca email dari Mas Wisnu. 

Mana yang lebih utama, kesehatan atau ekonomi? 

Keduanya tidak bisa saling dilepaskan, karena harus berjalan seiring sejalan. Bagaimana mungkin ekonomi bertumbuh jika sakit. Sebaliknya, bagaimana bisa sehat kalau tidak ada dana untuk berobat? 

Gambar tangkapan layar email dari editor Kompas.com
Gambar tangkapan layar email dari editor Kompas.com
Permasalahan yang sangat sulit, ditambah dengan kadar kedisiplinan masyarakat yang masih kurang. Menganggap seolah penyakit masih jauh, sedangkan korban tiap hari berjatuhan. Belum bertindak jika penyakit belum singgah dan terinfeksi. 

Beberapa kali saya bertemu dengan warga yang menganggap virus ini hanya akal-akalan. Jika ada yang sakit lalu meninggal di rumah sakit sebelum diketahui penyakitnya, otomatis pemulasarannya menggunakan protokol covid. Kemudian pihak keluarga dikenakan biaya tinggi oleh rumah sakit. 

Bagaimana jika masyarakat banyak yang masih beranggapan demikian? Sudah tidak mau mematuhi saran dan aturan, malah mereka-reka cerita yang belum tentu kebenarannya. 

Adanya larangan dan pemberlakuan PSBB beberapa waktu lalu juga ditentang, dengan dalih tak bisa bekerja mencari nafkah. Ketika disarankan menggunakan masker dan menjaga jarak, beralasan lagi sulit bernapas dan masih bergerombol. Bagaimana virus tidak berkembang cepat dan nyaman? 

Sebagaimana telah diketahui, Indonesia telah mengalahkan China dalam jumlah kasus positif covid-19. Berdasarkan data dari Worldometers, Sabtu (18/7/2020), total kasus positif di Indonesia tercatat 84.882 kasus, sedangkan China mencatat 83.644 kasus. Mana yang lebih tinggi sekarang? 

Jika ada pelonggaran aktivitas ekonomi, maka harus dibarengi dengan pengetatan protokol kesehatan. Sebagaimana disebutkan oleh Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, maka ada empat langkah yang harus diterapkan: 

1. Pemerintah harus menguatkan strategi tes, tracing, dan isolasinya merujuk pada target WHO. Pembatasan interaksi manusia dengan aturan bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah perlu diteruskan. Bisa disimpulkan, PSBB  tetap dilaksanakan seperti yang telah dilakukan beberapa pemerintah daerah.   

 2. Masyarakat dan kita wajib mematuhi protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas dan berkontak dengan orang lain.

 3. Ilmuwan dan akademisi harus konsisten memberi saran dan peringatan yang berbasis pada data dan ilmu pengetahuan sehingga publik diajak berpikir dan berargumentasi secara rasional.

 4. Keterlibatan masyarakat sipil sebagai inisiator gagasan dan mitra strategis pemerintah dalam pelaksanaan program ini. 

 Langkah-langkah tersebut diatas, pemantauan dan penerapan sanksi bagi pelanggar harus diawasi dan diterapkan secara sungguh-sungguh. Namun, sebelumnya pemerintah juga harus mengedukasi masyarakat, lalu siapa yang bertugas jika gugus tugas telah dibubarkan? 

Sebagai penggantinya adalah satuan tugas covid-19. Baik gugus tugas maupun satgas covid-19, bagi saya tidak ada bedanya. Tugas mereka tetap berkaitan dengan pandemi yang masih berkepanjangan. 

Mungkin kita memang sudah tidak mendengar lagi suara merdu dr. Raisa atau dr. Ahmad Yurianto membacakan perkembangan terkini jumlah kasus positif covid-19. Akan tetapi, tugas mereka tetap menjaga dan mengawal bangsa ini keluar dari pandemi yang diperkirakan masih akan bertahan beberapa bulan lagi di Indonesia. 

Jika kita ingin mempercepat masa pandemi segera berakhir, jaga diri dan keluarga kita agar tidak ikut menambah daftar panjang pasien terkonfirmasi positif covid-19. Jika memang masih bisa menghindari kerumunan, jauhkan diri dan keluarga kita dari penyakit yang akan memutus rantai silsilah ini. 

Semoga bermanfaat. 

Salam,

Sidoarjo 23 Juli 2020

Any Sukamto 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun