Hampir sebulan ini, Bulik kulihat selalu mondar-mandir membuka lemari pakaiannya. Baju-baju baru yang niatnya akan dikenakan saat ibadah haji nanti telah ditata khusus dan terpisah dengan yang lainnya.
"Biar nanti kalo kopernya sudah datang tinggal masukkan saja, Nduk, jadi ndak ada yang ketinggalan," jawabnya, ketika suatu hari kutanya mengapa selalu membuka lemari baju menatanya berulang.
Bulik memang akan berangkat menunaikan ibadah haji tahun ini. Perlengkapan yang bisa disiapkan jauh-jauh hari sudah mulai dicicilnya. Baju-baju dan perlengkapan lain yang harus dibawa telah tertata rapi di tempat khusus agar tak tercampur.
"Besok antar Bulik beli oleh-oleh, ya, Nduk. Mumpung masih sepi, nanti kalo bareng sama yang lain malah ndak bisa milih."
"Apa nggak sebaiknya kita tunggu pengumuman pemerintah saja, Bulik. Kan musimnya masih begini, bisa jadi nggak ada ibadah haji tahun ini," saranku.
"Halah, ndak apa-apa. Perasaan Bulik pasti berangkat, kok. Kan di Mekkah sudah dibuka lagi, to?" Bulik masih berkeras akan berangkat tahun ini.
Aku pun hanya mengikuti maunya, mengantar belanja keperluan untuk ibadahnya di tanah suci. Meski dalam hati aku ragu akan keberangkatan Bulik.
Bulik adalah adik ayahku yang terkecil. Aku diasuhnya sejak kecil karena ia tidak mempunyai anak kandung. Suaminya telah berpulang tiga tahun yang lalu karena kecelakaan.
"Ini bagus, ya, Nduk. Andai Paklikmu masih ada, dia pasti akan senang dengan motif ini. "
Sebuah sarung bermotif kotak-kotak kombinasi warna hitam dan abu-abu diangkatnya. Dilihatnya dan diputar berkali-kali barang tersebut. Tampak Bulik ingin sekali membelinya.
"Bulik ingin membelinya?" tanyaku memberanikan diri.