"Tapi Ran, aku nggak ingin keadaan ini berakhir. Aku nyaman dengan membantumu. Aku nggak ingin kehilangan waktu bersamamu." Ryan mengungkapkan perasaannya. Â Aku hanya terdiam, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku menghargai perasaan Ryan terhadapku, tetapi aku tak bisa berbuat banyak.
"Ciiieeee, ada yang lagi ketembak, nih? Uuhhuuy, ucapan yang sangat spesial, niiih." Tiba-tiba Zein datang dan mengacaukan suasana. "Udaah, lanjutin aja ngobrolnya. Aku cuma mau pamit. Aku tinggal dulu ya nanti semua alat kamu bawa pulang dulu, Ran, besok aja aku samperin ke rumahmu." Zein menghilang di balik tangga.
"Wooii, siapa nih yang mau bantu beresin?" teriakku pada Zein.
"Tuuh, yang lagi kasmaran suruh angkat semua. Biar nggak kesambet!" Sambil teriak Zein ngeloyor pergi.
"Ran, kamu masih mencintai Andra?" Ia menatap dalam ke manik mataku, sementara aku hanya terpaku. Entah kenapa hati ini masih terlalu pahit bicara tentang cinta, sejak Andra pergi tanpa jejak.
"Ran, berilah sedikit ruang untukku," pintanya. "Kamu masih menyimpan harapan padanya? Lihatlah dirimu sendiri, tak pernah menghiraukan orang lain yang datang memberikan cintanya padamu." Dalam hati, aku membenarkan ucapan Ryan. Namun, aku pun tak bisa berbuat banyak. Ada cinta yang masih terpendam untuk Andra, meskipun entah di mana dia saat ini.
Aku menunduk, menyembunyikan kabut yang merebak di pelupuk mata. Hati ini tertutup dan aku terperangkap didalamnya. Ryan hanya menghela napas menghadapi diamku. Ia telah mengartikan semua hingga punggungnya berlalu dari hadapanku, terlihat lelah dan rapuh.
Wisuda yang kunantikan pun datang, kucari Ryan dan Zein diantara kerumunan mahasiswa yang menyemut. Zein tengah tertawa dan berfoto dengan sahabat-sahabatnya, euforia kebahagiaan terpancar jelas dari tawanya.
Aku pun menyisir pandangan mencari Ryan, lelaki itu di sudut spot pengambilan foto. Ia berpose berdua dengan seorang perempuan, dengan senyum dan bahasa tubuh yang aku pahami apa artinya.
 TAMAT