Ada yang aneh dengan sikap Ibu siang ini. Beliau tampak murung dan tak bertenaga. Tak biasanya wanita berumur delapan puluh tahun itu menyambut kedatanganku dengan cara begitu.
Setelah kucium punggung tangannya, wajah Ibu masih terlihat muram. Tak sedikit pun senyum ditampakkan. Aku penasaran, apa yang telah terjadi dengan Ibu?
“Ibu sakit?” tanyaku saat menjabat tangan Ibu yang terasa dingin.
“Enggak apa-apa, cuma lemas aja, diare mungkin,” jawab Ibu. Pandangannya masih kosong, membuat guratan tua di wajahnya kian jelas.
Aku pun berlalu, percaya bahwa beliau baik-baik saja. Masakan yang tersaji di meja menjadi alasanku meninggalkan Ibu. Usai membasuh tangan dan kaki, aku menyantap lahap hidangan yang ada.
Sambil menyendok makanan, sesekali kuperhatikan Ibu. Perilakunya aneh, selama aku makan saja sudah tiga kali keluar masuk kamar mandi. Ada yang tidak beres dengan Ibu, segera kuselesaikan makan.
“Ibu tadi makan apa saja? Sudah makan siang? Kita ke klinik saja, ya, Bu?” ajakku.
Kondisi seperti sekarang aku ragu jika membawa Ibu ke rumah sakit umum. Lebih baik ke klinik terdekat saja, pasiennya tidak banyak. Aku tidak mau Ibu tertular corona.
Ibu hanya mengangguk, wajahnya yang pucat membuatku tak tega melihatnya. Mungkin karena sudah tak tahan dengan rasa yang mendera, beliau setuju saja dengan ajakanku.
Segera kuantar Ibu menuju klinik terdekat. Berharap pertolongan yang cepat bisa meringankan penderitaan Ibu. Tak biasanya beliau terlihat begitu kesakitan seperti ini.
Diagnosa dokter menyatakan Ibu mengalami gejala typus, dan disarankan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium. Beberapa obat sebagai penyembuh awal telah diberikan. Kami pun pulang setelah merencanakan pemeriksaan selanjutnya di laboratorium.
Usai minum obat dokter, kondisi Ibu terlihat lebih segar dan membaik. Ibu bisa tidur nyenyak dan tidak bolak-balik ke kamar mandi. Aku lega, lalu berangkat lagi ke kantor setelah beberapa jam kutinggalkan untuk makan siang tadi.
Sepertinya, aku tak perlu mengantar Ibu melakukan pemeriksaan ke laboratorium lagi, agar tidak tertular virus berbahaya itu. Begitu pun Ibu, beliau tidak bersedia pergi ke laborat, takut juga katanya.
Dua hari berlalu, tiba-tiba Ibu mengeluh lagi. Kali ini badannya terasa panas. Aku coba ukur dengan termometer yang ada. Benar saja, Ibu mengalami demam tinggi.
Obat demam yang tempo hari diberikan dokter masih ada. Kusarankan Ibu untuk meminumnya sebelum kembali ke klinik. Berhasil, panas bisa diredam. Ibu tidak mengeluh lagi.
Namun, kondisi Ibu semakin memburuk, beliau makin lemah. Tak ada jalan lain, aku harus membawanya ke rumah sakit. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ibu, setelah kepergian istriku dua bulan lalu, Ibu adalah perempuan satu-satunya yang kupunya.
Sore itu, sesampainya di instalasi gawat darurat, Ibu segera ditangani dengan baik. Sambil menunggu hasil pemeriksaan, aku diminta menyelesaikan semua administrasi di ruang lain. Tanda tangan beberapa kali di formulir berbeda, membuatku gelisah dengan keadaan Ibu.
Menjelang Ramadan, tepat ketika azan Magrib mulai berkumandang, saat itu juga Ibu menghembuskan napas terakhirnya. Aku hanya diam dan terpaku pada keadaan. Wanita yang telah melahirkanku berpulang dalam dekapan.
Ya Tuhan, ujian apa lagi ini? Dua bulan yang lalu istriku telah Kau panggil. Kini Ibuku, begitu banyakkah dosa dan kesalahan yang telah kulakukan, sehingga kedua perempuanku Kau panggil dalam waktu yang tak lama berselang?
Aku tersedu dalam pilu, sendiri menghadapi kenyataan. Siapa lagi pelipur kalbu saat gundah melanda? Tuhan, adilkah ini?
Perawat datang memintaku ke ruang dokter. Di sana hasil beberapa pemeriksaan Ibu dari laborat telah siap. Aku hanya bisa menyimak tanpa bisa berkata-kata.
“Pak Fadli, ini hasil dari pemeriksaan laborat Ibu Fatimah. Di sini saya hanya menyampaikan berdasarkan hasil yang tertera, ada beberapa kemungkinan penyebab Ibu berpulang, salah satunya ditemukan pneumonia di paru-paru ibu saudara. Namun, saya belum bisa memastikan apa Ibu Fatimah positif corona. Hasilnya baru keluar satu minggu lagi. Dan di sini saya juga minta Bapak bersedia di test. Kemungkinan besar Bapak juga bisa tertular karena telah melakukan kontak fisik dengan Ibu. Jadi, saya minta kesediaannya, ya, Pak. Mohon maaf atas keadaan ini. Semua juga demi kebaikan kita.”
Lunglai tubuhku. Seolah tulang penyangga yang selama ini ada dicabut dan dibuang entah ke mana. Aku terhempas. Ibu berpulang karena corona? Sementara hanya aku yang keluar masuk rumah.
Selama ini, Ibu hanya diam di rumah dengan pembantu. Akulah yang keluar masuk rumah, ke kantor dan untuk urusan lain. Bisa kusimpulkan, akulah pembawa virus itu ke rumah.
Tahun ini Ramadan datang dengan kesedihan. Kedua perempuanku berpulang jauh dari dekapan. Ramadan kali ini aku benar-benar kesepian. Sesepi dinding-dinding dalam ruang isolasi, karena aku positif covid.
Sidoarjo, April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H