Usai minum obat dokter, kondisi Ibu terlihat lebih segar dan membaik. Ibu bisa tidur nyenyak dan tidak bolak-balik ke kamar mandi. Aku lega, lalu berangkat lagi ke kantor setelah beberapa jam kutinggalkan untuk makan siang tadi.
Sepertinya, aku tak perlu mengantar Ibu melakukan pemeriksaan ke laboratorium lagi, agar tidak tertular virus berbahaya itu. Begitu pun Ibu, beliau tidak bersedia pergi ke laborat, takut juga katanya. Â
Dua hari berlalu, tiba-tiba Ibu mengeluh lagi. Kali ini badannya terasa panas. Aku coba ukur dengan termometer yang ada. Benar saja, Ibu mengalami demam tinggi.
Obat demam yang tempo hari diberikan dokter masih ada. Kusarankan Ibu untuk meminumnya sebelum kembali ke klinik. Berhasil, panas bisa diredam. Ibu tidak mengeluh lagi.
Namun, kondisi Ibu semakin memburuk, beliau makin lemah. Tak ada jalan lain, aku harus membawanya ke rumah sakit. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ibu, setelah kepergian istriku dua bulan lalu, Ibu adalah perempuan satu-satunya yang kupunya.
Sore itu, sesampainya di instalasi gawat darurat, Ibu segera ditangani dengan baik. Sambil menunggu hasil pemeriksaan, aku diminta menyelesaikan semua administrasi di ruang lain. Tanda tangan beberapa kali di formulir berbeda, membuatku gelisah dengan keadaan Ibu.
Menjelang Ramadan, tepat ketika azan Magrib mulai berkumandang, saat itu juga Ibu menghembuskan napas terakhirnya. Aku hanya diam dan terpaku pada keadaan. Wanita yang telah melahirkanku berpulang dalam dekapan.
Ya Tuhan, ujian apa lagi ini? Dua bulan yang lalu istriku telah Kau panggil. Kini Ibuku, begitu banyakkah  dosa dan kesalahan yang telah kulakukan, sehingga kedua perempuanku Kau panggil dalam waktu yang tak lama berselang?
Aku tersedu dalam pilu, sendiri menghadapi kenyataan. Siapa lagi pelipur kalbu saat gundah melanda? Tuhan, adilkah ini?
Perawat datang memintaku ke ruang dokter. Di sana hasil beberapa pemeriksaan Ibu dari laborat telah siap. Aku hanya bisa menyimak tanpa bisa berkata-kata.