Pagi itu, aku masih berusaha menyelesaikan satu naskah sebelum date line jam 12 siang. Kurangkai kata per kata agar terbaca indah dan penuh makna. Tak ada yang sulit bagiku jika memang sudah kuniatkan.
Baiklah, kalau begitu aku buat secangkir kopi saja.Suara mobil penjual sayur terdengar mendekat. Meskipun apartemenku terletak di atas, tetapi aku masih bisa mendengar teriakan tukang sayur melalui speaker yang dibawanya. Aku pun bergegas menuju balkon.
Beberapa saat kemudian, kutarik lagi keranjang sayurku yang telah terisi. Beberapa macam sayur dan belanjaan lain telah dimasukkan dalam keranjang. Lumayan untuk persediaan sayur dua hari, pikirku.
“Banyak sekali belanjaan hari ini, apakah akan ada pesta?” tanya lelaki penghuni apartemen depan.
“Oh, tidak. Hanya untuk persediaan saja,” jawabku ramah.
“Apa boleh suatu hari aku diundang, untuk mencicipi masakannya?” Kembali ia bertanya.
“With my pleasure!” Sebuah senyum kuhadiahkan, dia lalu pamit.
Setelah semua barang kumasukkan dalam lemari pendingin, aku kembali pada laptop yang masih menyala. Waktu masih tersisa untukku menyelesaikan setengah artikel lagi. Kucermati kembali kata per kata yang telah tertata.
Usai mengirim naskah, tak berapa lama sebuah notifikasi masuk. Ternyata dari salah satu pembaca artikelku, layaknya yang lain dia juga mengirimkan salam. Tak ada yang aneh lagi jika sesama penulis saling menyapa lewat tulisan.
Namun, ada yang menggelitik di pikiranku. Kata-kata yang disampaikan dalam komentarnya seolah menunjukkan ia sangat mengagumiku. Penasaran dengan nama tersebut, kubuka artikelku yang lain. Ternyata dia memang selalu mengapresiasi setiap tulisanku.
Kucoba menulis sebuah puisi pendek, seolah aku sedang jatuh cinta dan selalu mengharap kehadirannya. Akan kuposting untuk melihat reaksinya, apakah masih sama ketika ia membaca tulisan tentang kesendirianku?
Untukmu
Pagi yang sejuk telah membangkitkan segenap rinduku padamu
Tetes air sisa hujan tadi malam pun seolah membasahi dinding hati karena sapamu
Akankah hari-hari selalu kulalui dalam riang penuh hangat ucapanmu
Andai hujan pun tahu, pasti aku akan malu karena juga mengagumimu
Duhai pujaan, jika saja raga ini bisa terbang setinggi burung di angkasa
Akan kusinggahi istanamu dan kita bisa bercanda di sana
Berdua menaklukkan buana maya penuh bahagia
Hingga nyata berdua dalam dekapan selamanya
Benar saja dugaanku, ia berani menyatakan perasaannya melalui percakapan pribadi. Jika saja puisi itu benar ditujukan untuknya, maka ia akan segera hadir dan singgah di apartemenku. Namun, jika puisi itu untuk pembaca lain maka ia akan sangat menderita. Aku tak menjawab sedikit pun percakapan itu.
Ah, andai saja dia tahu bahwa hatiku telah beku. Tak tersisa lagi cinta untuk yang lain kecuali pemilik raga ini. Semua rasa telah kuterbangkan bersama perginya kekasih yang berkhianat.
Sidoarjo, April 2020
*Sebuah karya fiksi untuk Ibu Muthiah Alhasany, dalam rangka 10th berkarya di Kompasiana.
Semoga tetap sehat dan semangat berkarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H