"Baik, Pak. Saya segera ke sana."
Aku melangkah menuju ruang makan yang letaknya terpisah dengan vila utama. Sengaja didesain demikian agar makanan tidak dibawa ke ruang lain, terlebih kamar tidur. Begitu penjelasan Pak Dayat saat ditanya mengapa ruang makan terpisah dengan vila utama.
Di ruang makan, Mas Miko tampak duduk sendiri. Terlihat lahap dan sangat menikmati hidangan makan malam. Lalu mengapa tadi Pak Dayat bilang menungguku? Toh, dia sudah lebih dulu makan dan sepertinya hampir habis.
Duduk menghadap ke timur dan membelakangi pintu masuk, membuat aku tak bisa melihat menu makanan apa yang sedang dilahapnya. Perlahan kudekati dan berusaha duduk di kursi sebelah kanannya. Mas Miko masih asyik dengan makanannya dan tak menghiraukan kedatanganku.
Tiba-tiba meja makan terlihat kosong dari hidangan berjajar yang tadi kulihat dari jauh. Entah apa yang terjadi, seolah semua lenyap dari meja. Hanya terlihat piring kosong yang menumpuk di sudut meja.
Belum lagi selesai aku menarik kursi, terlihat sesuatu bergerak-gerak di piring Mas Miko. Segera kualihkan pandanganku pada piring itu. Alangkah terkejutnya, ketika isi piring itu disendok dan terjatuh.
Aku menjerit, tak percaya dengan penglihatanku. Mas Miko menolehkan pandangan ke arahku, sambil tertawa lebar dia angkat sesendok penuh lalu di masukkan ke mulut. Terlihat darah segar menempel di bibir dan pipinya.
Aku melangkah mundur, berusaha lari dan keluar dari ruang makan. Namun, tangan Mas Miko berhasil memegangku lebih dulu. Semakin keras aku menjerit, meronta dan berusaha melepaskan diri dari pegangan Mas Miko.
"Rara ... Rara ... bangun! Kamu mimpi, ya?" Vita mengguncang-guncang tubuhku. Lalu, aku  terbangun dan sadar. Duduk sambil berusaha mengingat kejadian dalam mimpiku.
"Kamu belum salat Magrib 'kan? Sana wudu dulu! Makanya, saat Magrib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H