Malam yang larut tak membuat langkahku surut membawa suamiku ke instalasi gawat darurat salah satu rumah sakit pemerintah. Keluhan nyeri di dada yang kian menyiksa menjadi alasan kuat aku mengantarnya. Sejak terkena serangan pertama tiga tahun yang lalu, suamiku memang sering merasakan ketidakberesan fungsi salah satu organ vitalnya, jantung.
Sesampainya di IGD, kami disambut beberapa perawat yang membantu dan menanyakan alasan masuk instalasi tersebut. Semua pertanyaan telah terjawab, semua kemungkinan tindakan telah dijelaskan, lalu dipastikan bahwa suamiku harus menjalani rawat inap di ICCU.
Antara bersyukur dan bersedih. Bersyukur karena segera mendapat perawatan terbaik, dan bersedih sebab meninggalkan anak-anak di rumah, karena mereka harus belajar untuk menghadapi ujian sekolah.
Di ruang ICCU (Intensive Coronary Care Unit), suamiku tidak bisa ditunggu oleh anggota keluarga. Sehingga aku harus menunggunya di luar, di ruang tunggu pasien. Namun, aku tidak sendiri, banyak keluarga pasien lain yang menunggu di sana.
Ada hal lain yang kurasakan selama sehari semalam di ruang tunggu, sungguh sangat mengaduk perasaan. Lepas dari kekhawatiran tentang keadaan suami yang sudah ditangani secara profesional, ada hal lain yang membuat hati ini berbisik untuk selalu bersyukur. Di ruang tunggu itu, kutemukan suasana kekeluargaan yang akrab karena kami merasa senasib.
Berkumpul dengan orang lain yang belum pernah kutemui sebelumnya, dengan latar belakang yang jauh berbeda satu dengan yang lain. Namun, kami memiliki kesamaan tanggung jawab. Menjaga salah satu keluarga kami yang sedang dirawat di ruang intensive.
Pengetahuan kami yang awam tentang penyakit dan rahasia Illahi tentang umur, menyatukan kami dalam sebuah doa. Istighosah dilakukan, memohon kebaikan dan kesembuhan untuk pasien. Apa pun yang terbaik dari Allah, adalah yang terbaik bagi kami.
Terkadang, suasana jadi hening ketika ada pemanggilan untuk salah satu keluarga pasien. Penasaran selalu meliputi kami manakala pengeras suara diketuk. Jantung berdetak lebih kencang, siapa yang akan dipanggil dan untuk apa keperluannya.
Setelah pemanggilan, tak sadar kami selalu menanyakan pada keluarga yang namanya disebut tadi. Bagaimana kondisi pasien yang dirawat? Apakah akan segera dipindah ruangannya atau harus membelikan suatu resep dan kebutuhan?
Suasana akan berubah ceria ketika mendengar kabar akan dipindah ke ruangan perawatan lain. Hal ini berarti kondisi pasien membaik. Namun, suasana akan jadi haru ketika kabar duka diterima oleh keluarga yang namanya disebut.
Kami saling memberikan dukungan. Walaupun tak banyak yang bisa kami lakukan, setidaknya kami sedikit menguatkan perasaan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Ketika istighosah lagi hari berikutnya, tak lupa kami pun mengirimkan doa bagi almarhum yang meninggal dunia. Padahal, kami juga belum mengenal almarhum. Hanya dari kerabat yang menunggunya kami mengetahui almarhum.
Keluarga baru yang kutemukan, meskipun setelah itu belum tentu di luar kami masih saling mengenal. Satu hal yang pasti, kami merasa terikat dalam suatu keadaan yang membutuhkan dukungan dari orang lain. Dan sungguh, nyawa hanya titipan. Kami hanya berusaha, sedangkan  hasil ada di wilayah Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H