Bahkan, ibunya Dinda pernah dibawakan sesuatu yang membuatnya terkesan, hingga berpesan pada Dinda, 'Besok kalau cari suami yang seperti Febri. Selain orangnya ramah, dia pandai membahagiakan orang dan nggak pelit.'
Dinda mulai merasakan ada sesuatu yang dipaksakan. Sebenarnya, dia tidak suka dengan kedatangan Febri, tetapi Ibu sangat senang dengan kehadirannya. Sering kali Dinda tidak bisa menemui Febri dengan alasan banyak tugas. Namun, Ibu selalu memaksa untuk keluar menemui Febri.
"Tak baik bersikap seperti itu, sudah sepantasnya kita memperlakukan tamu dengan baik. Jarang, lho, ada lelaki yang seperti Febri. Â Jangan menyesal, ya, nanti!" Selalu itu yang dikatakan Ibu jika Dinda menolak menemui Febri.
Mereka pun mulai akrab dan selalu terlihat berdua. Berangkat dan pulang kuliah selalu bersama layaknya dua sejoli. Hanya demi membahagiakan ibu, pikir Dinda. Meskipun tak ada cinta sedikit pun di hatinya. Ia hanya berusaha menerima Febri.
Waktu bergulir, tahun berganti. Mereka pun lulus. Dinda semakin larut menikmati perjalanan cinta bersama Febri, walau harus memaksakan hati.
Memaksakan cinta hadir di antara mereka, meski kadang sulit ia berusaha mencintai Febri. Hingga akhirnya mereka pun bertunangan.
Asal Ibu bahagia, semoga aku pun bahagia, pikir Dinda.
"Kamu nanti ingin punya anak berapa, Din? Kalau aku pingin punya anak yang banyak, biar rumah kita selalu ramai. Dan kamu nggak akan kesepian kalau aku ke kantor." Harapan Febri pada Dinda.
Â
Suatu hari, karena berbeda pendapat dengan Febri, Dinda sempat menerima tamparan di pipi. Bekas tangan menempel di pipi, luka pun tergores di hati. Belum juga jadi istri yang sah, Dinda sudah merasakan perih. Diam menjadi pilihannya.
Pada kesempatan yang lain, karena kurang hati-hati Dinda menumpahkan minuman yang ada di meja hingga mengenai pakaian Febri. Tanpa pernah membayangkan sebelumnya umpatan yang keluar dari mulut Febri.
"Bodoh! Sudah tau ada gelas kopi di senggol! Matamu ke mana?" bentak Febri.
"Begitu caramu memperlakukan perempuan? Apa tidak ada cara lain yang lebih pantas kau ucapkan?" tanya Dinda.
Febri terdiam sesaat, lalu bangkit dan mengambil sesuatu segera berlalu.Â