Surabaya, 12 Desember 2024 - Kasus pelecehan seksual yang saat ini sedang marak diperbincangkan masyarakat adalah kasus pelecehan yang dilakukan oleh I Wayan Agus Suartama atau yang lebih dikenal dengan Agus Buntung. Pria ini kerap dipanggil dengan nama tersebut karena ia memiliki kondisi disabilitas yakni dilahirkan tanpa kedua tangan sejak lahir. Namun, kekurangan ini nampaknya tidak menjadi penghalang bagi Agus untuk melancarkan kelakuan bejat nya. Saat ini, Agus Buntung telah melakukan pelecehan terhadap 15 orang, termasuk anak-anak yang masih dibawah umur. Di sisi lain, dari sudut pandang psikologis, kasus ini menjadi isu yang menarik untuk dibahas mengenai perilaku pelaku dan dampak-perdampakannya bagi para korban.
Profil Pelaku dan Taktik Manipulasi      Â
Agus Buntung diduga memiliki taktik tersendiri dalam menjebak targetnya. Menurut Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, sebelum melancarkan aksi yang ia lakukan, Agus diduga menerapkan strategi Profiling untuk mengenali targetnya. Tetapi, apa teknik Profiling itu sebenarnya? Profiling adalah proses sistematis yang diterapkan untuk mengidentifikasi dan menganalisis ciri-ciri psikologis dan perilaku psikologis seseorang, terutama dalam konteks moralitas kriminal. Peralatan ini dibuat untuk mengerti jenis pelaku kejahatan yang ada dan perkiraan perilaku mereka atas bukti yang ada. Agus cenderung memilih perempuan yang tampak sendirian di tempat umum, seperti taman, dengan asumsi bahwa mereka sedang mengalami masalah emosional atau psikologis.
Secara pendekatan, Agus menggunakan taktik manipulatif, ia mencoba memanfaatkan kelemahannya sebagai penyandang disabilitas. Dalam kata-kata manisnya, ia menceritakan kekurangan yang ia miliki pada korbannya untuk memicu empati para korbannya. Ia bahkan menggunakan kisah sulit kehidupannya untuk membuat para korbannya merasa iba padanya. Ia menerapkan taktik manipulatif ini untuk menyerang sisi psikologis korban, sehingga korban dapat merasa seperti terjebak dalam situasi yang membuatnya sulit untuk menolak.
Latar Belakang Psikologis Korban
Berdasarkan informasi yang diperoleh, banyak korban Agus Buntung memiliki latar belakang masalah psikologis yang serupa. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku secara tidak langsung memilih target yang lebih rentan dan mudah dipengaruhi. Korban-korban ini sering kali mengalami kecemasan, depresi, atau perasaan rendah diri, yang kemudian dijadikan kesempatan oleh Agus untuk hadir di situasi sulit mereka dan melontarkan bualan manisnya, sehingga membuat mereka lebih mudah terjebak dalam manipulasi emosional pelaku.
Dampak Psikologis pada Korban
Pelecehan seksual yang terjadi tidak hanya meninggalkan luka fisik tetapi juga membawa dampak psikologis yang dalam bagi korban. Setelah mendapat perlakuan tak menyenangkan ini, korban seringkali mengalami trauma, rasa malu, dan ketidakpercayaan terhadap orang lain setelah mengalami pelecehan. Dalam banyak kasus, mereka mungkin merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi, terutama jika mereka merasa terjebak dalam situasi tersebut.
Psikolog mengungkapkan bahwa pemulihan dari trauma semacam ini memerlukan dukungan psikologis yang intensif dan waktu yang cukup untuk proses penyembuhan. Penting bagi Masyarakat dan keluarga untuk memberikan dukungan kepada korban dan menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka untuk berbicara tentang pengalaman mereka.
Kasus Agus Buntung menyoroti pentingnya memahami dinamika psikologis baik dari sisi pelaku maupun korban dalam kasus pelecehan seksual. Pendekatan manipulatif pelaku dan latar belakang psikologis korban menciptakan situasi berbahaya yang sering kali sulit untuk diatasi. Kesadaran akan faktor-faktor ini sangat penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus pelecehan seksual di masyarakat.
Dalam banyak situasi, perempuan seringkali menjadi sasaran karena kondisi emosional yang rentan, stigma sosial, dan juga kurang pemahaman masyarakat mengenai pelecehan seksual. Hal ini mengingatkan pentingnya perlindungan terhadap perempuan dalam mencegah kejahatan semacam ini. Perempuan disarankan untuk selalu waspada dan meminta bantuan saat mengalami ancaman atau pelecehan. Kerjasama antara masyarakat dan pihak berwenang juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan, di mana mereka merasa didengar tanpa takut akan stigma yang akan muncul. Dengan meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan kepada korban, kita dapat mencegah kejadian serupa di masa depan serta memastikan perlindungan hak-hak perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H