Kedua, manusia skizofrenik. Skizifrenik adalah sebuah konsep yang mengatakan bahawa manusia itu dalam keadaan diri terbelah (divided self) atau diri jamak (multiple self). Manusia yang tidak memiliki ketetapan, kekonsistenan dan kontinuitas diri, sehingga mengarah ke ketiadaan ego. Bahkan sampai kepada pembebasan terhadap peraturan yang ada. Manusia skizofrenik ini sangat merayakan kecairan (fluidity) hasrat, yakni megalir begitu saja keberbagai tempat, keyakinan dan idiologi tanpa ada pengendalian yang tetap. Mereka merayakan rasa mengalir dan kebebasab, berpindah dari pelepasan hasrat yang satu ke hasrat yang lain, dari keimanan yang semula ke keimanan yang lain. Yang itu tidak akan berhenti sampai seterusnya. Karena mereka berada dalam medan deteritorialisasi.
Ketiga, manusia fatalis (homo fatallis). Seperti yang saya katakana di atas bahwa manusia fatalis ini adalah manusia yang tidak bisa lepas dari dunia objeknya. Manusia yang terkurung dan terhisap dalam dunia objek. Manusia fatalis adalah manusia yang dibentuk oleh kondisi fatalitas, yang di dalamnya (konsep, argument dan objek) berkembang kearah titik yang melampaui dan terus didorong lagi kedalam suatu titik yang di dalamnya konsep, informasi, komunikasi atau sistem yang kehilangan logikanya sendiri. Manusi fatalis juga bisa dikatakan sebagai manusia layar. Manusia yang selalu menghadapkan diri dan menghabiskan sebagian besar waktunya pada layar. Seperti kepada televisi, computer, internet, hp, film atau ATM dan lain-lainnya. Di mana mereka terjerembab dalam logika pembenaran citra sebagai realitas, yang menerima dengan cara tidak keritis terhadap glombang-glombang yang menyerang dirinya dari berbagai arah, dan menerima saja citra-citra seperti; iklan, TV, fashion, dan objek-objek yang lainnya sebagai bentuk eksistensinya dalam rangka memakanai kehidupannya. Itulah yang disebut hidup dalam dunia simulakrum.
Homo Pluralis
Manusia posmodern yang pluralis adalah manusia yang tidak menenggelamkan dirinya di dalam mekanisme (wacana, bahasa, objek dsimbol) di luar dirinya. Merupakan kebalikan dari manusia minimalis. Manusia yang berusaha melakukan revisi atau rekonstruksi terhadap dirinya sebagai subjek atau aktor, dengan mengembangakan dunia yang dialogis, komunikaif, toleran dan intersubjektivitas. Ada pun ciri-ciri manusia pluralis sebaggai berikut:
Pertama, manusia dialogis (homo dialogus). Manusia dialogis adalah manusia yang menganggap manusia yang lainnya sebagai patner dialaog untuk saling memahami dan menghormati. Manusia dialogis ini memang lebih mengutamakan pemahaman (verestehen) terhadap yang lainnya. Ini adalah cara untuk memahami dirinya juga sekaligus untuk membangun dirinya. Manusia dialogis adalah manusia yang menghargai warna-warna yang lainnya, yang berbeda dengan dirinya. Yang menurut Mikhail Bakhti manusia yang terlibat akatif dalam proses pertarungan sosialnya dengan penghargaannya terhadap keanekaragaman.
Kedua, manusia aktivis. Manusia aktivis dapat diartiakan sebagai manusia yang terlibat dalam segala aktivitas merebut kembali kekuasaan subjek sebagai produsen atau aktor. Manusia yang amampu mempertanyakan kembali model-model kultural yang ada terutama yang bersifat totalitas. Manusia yang tidak bergantung pada aturan-aturan dan nilai-nilai historis, tapi manusia yang mampu membentuk proses sejarahnya sendiri melalui kreasi-kreasi kultural dan perjuangan sosial dengan melakukan memerangi segala bentuk kontrol terhadap proses perubahan yang lebih otentik. Ketiga, manusia multukulturalis. Manusia yang lebih mengharagai akan perbedaan dengan penyamarataan di depan yang berwajib. Berbeda dengan pluralitas, yang di dalamnya masih mengandaikan atau ada problem minoritas dan mayoritas. Manusia kulturalisme dibangun berdasarkan persamaan, kesetaraan dan keadilan.
Konsumsi, Selara dan Perubahan Sosial
Setiap manusia (subjek) memiliki konsumsi dan selera tersendiri yang sifatnya selalu berubah-ubah. Perbahan itu seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, teknologi dan kultural di mana sang subjek itu hidup. Konsumsi ini, termasuk makan, berpakaian, permainan, intelektualis dan gaya hidup secara umum akan mempengaruhi selera dan perubahan sosial yang terbentuk dibelakangnya. Konsumsi merupakan sebuah aktivitas, yang meskipun terlihat sepele tapi merupakan sebuah kebudayaan, yang kalau dilihat lebih dalam akan tampak begitu komplek.
Sebagai sebuah wujud kebudayaan, konsumsi (makan, fashion, game, teknologi, buku, dan intelektual) tidak hanya melibatkan budaya fisik saja, seperti barang yang sepeti apa yang dikosnsumsi, dan peralatan-peralatannya, namun unsur-unsur yang nonfisik pun sepeti selera, (selera dalam pengertian sosiologisnya, yaitu klasifikasi dan hirarkis selera yang ada di masyarakat tersebut) makna, dan nilai sangat menentukan terhadap kesosialan, politik, ekonomi, kultural dan spiritual. Selera berkaitan dengan aspek-aspek perasaan, apresiasi, dan penghayatan terhadap berbagai hal yang kita konsumsi. Makna berkaitan dengan bagaimana manusia itu mengonsumsi, yang di dalamnya terdapat makna, tanda dan kode-kode tertentu. Nilai, menentukan bagaimana orang mengklasifkasikan terhadap apa yang mau dikonsumsinya. Konsumsi merupakan sebuah bentuk akativitas yang paling primordial, dalam sejarahnya setua sejarah manusia itu sendiri. Oleh karena itu konsumsi dimaknai secara beragam. Konsumsi secara luas dapat dimakanai sebagi sebuah kegiatan penggunaan hak milik material dan penggunaan sebuh konsep di balik sebuah tanda tersebut. Selera terhadap konsumsi itupun mempunyai makna dan nilai yang begitu beragam, sesuai selera yang ada dalam masyarakat tersebut.
Konsumsi dapat dimaknai sebagai sebuah bahasa yang menyampaikan berbagai makana yang ada di belakangnya. Seperti penyampaian makna sosial atau kulturalnya. Macam atau bentuk-bentuk apa dan bagaimana cara orang itu mengkonsumsi sesuatu sesuai dengan makna atau nilai-nilai yang terdapat dalam suatu masyarakat tersebut. Konsumsi sebagai sebuah bagian dari budaya, tentunya mempunya aturan atau kode-kode yang di bentuk oleh sosial yang ada. Dan apa yang kita konsumsi pun berkaitan dengan persepsi yang kita miliki. Konsumsi macam apa yang kita pilih itu berdasarkan persepsi kita yang dibangun oleh sosial, budaya dan agama yang kita yakini. Juga konsumsi macam apa yang kita pilih itu menandakan sebuah proses komunikasi, yaitu tindak membaca, memahami kode yang terdapat dalam struktur tersebut.
kesimpulan: Makna dan Relefansinya terhadap Budaya Mahasiswa UIN Jakarta