Chris Barker juga menjelaskan budaya popular ini mengarah sebagai  dampak dari komersialisai industri, yakni budaya yang diproduksi secara massal oleh industri kebudayaan. Di mana budaya yang diproduksi secara komersial itu tampak tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hal ini akan berubah untuk waktu-waktu yang akan datang. Budaya populer dipandang sebagai makna-makna dan praktik-praktik hasil produksi khalayak populer pada momen konsumsi dan kajian ini berpusat pada bagaimana ia digunakan. Dalam penelitian budaya polpuler ini pengalaman simbolis dan praktik keseharian secara analitis maupun politis lebih penting dari pada "budaya tinggi", budaya dengan "B" besar. Di dalam budaya populer terdapat situs pertarungan makna yang cukup hebat. Dan budaya populer tersebut bukanlah berkaitan dengan nilai-nilai kultural atau estetis, tetapi berkaitan dengan kekuasaan dan tempat budaya pouler dalam formasi sosial yang lebih luas. (Chris Barker, 2005: 63-64).
Subjek dalam Pandangan Dunia Posmodernisme
Meskipun terjadi perdebatan yang cukup ramai pada dekade yang lalu tentang otentisitas, namun posmodernisme selalu menjadi maradona dalam perbincangan yang aktual hingga kini. Datangnya gelombang posmodernisme telah menimbulkan berbagai reaksi dari para pendukung modernisme. Posmodernisme seolah-olah seperti oase yang menyegarkan setelah tandusnya modernisme. Namun pemikiran seperti apapun tidak berarti tanpa ada kekhawatiran, seperti pandangan orang terhadap posmodernisme ada juga yang paranoi, ketakutan mereka terhadap status budaya lokal.
Ada banyak cara orang mempersoalkan posmodernisme. Dalam tulisan ini saya saya tidak membahas problematika posmodernisme dengan komprehensif, saya hanya mengklasifikasikan posmodernisme dan manusia postmodern berdasarkan analisisnya Yasraf Amir Piling yang mengatakan bahwa manusia posmodernis itu terbagi dua. Pertama, manusia posmodernis minimalis. Dua, manusia posmodernis pluralis. (Yasraf Amir Piling, 2006).
Pembicaraan persoalan manusia posmodern tidak lepas dari pembicaraan manusia sebagai subjek, yang berrelasi antara dirinya dengan dunia di sekitarnya. Dalam hal ini saya menggunakan istilah kata subjek bukan kata individu. Subjek merupakan kata yang merujuk ke manusia yang hidup dalam masyarakakat, di mana manusia sebagai subjek yang dipengaruhi oleh budaya atau diskursus yang ada dalam masyarakat tersebut. Manusia sebagai sujbek dalam pemikiran posmodernis ada yang mengatakan subjek yang aktif ada juga yang mengatakan sebagai subjek yang pasif. Sedangkan istilah individu, merupakan istilah yang digunakan para pemikir modern untuk merujuk pada manusia yang idependen sekaligus otonom. Manusia yang terbebas dari pengaruh budaya yang ada dalam masyarakat. Manusia yang super aktif menentukan sendiri apa yang ia maui. Manusia sebagai penentu apa yang ada dalam dirinya juga penentu dunia yang ada di luar dirinya. Itulah manusia modern. Manusia yang cogito.
Subjek sendiri sebenarnya merupakan konsep yang abstrak tentang relasi dirinya dengan dunia sekitarnya. Para pemikir posmodernis cenderung ke arah posubjektivitas, yakni penolakan diri yang berproses menjadi subjek. Namun penolakan ini bisa diartikan: pertama, tidak ada lagi yang namanya subjek, yang kini telah terlarut dalam genangan struktur di luar dirinya (bahasa, objek, wacana atau citra), dan ini akan menggiring kepada kematian subjek. Para pemikir yang termasuk dalam golongan pertama ini antara lain Derrida, Foucault, Lacan, Deleuze, Boudrillard dan Rorty. Kedua, penolakan dalam pengertian kekuasaan subjek terbatas dalam konsep subjek modern sebagai pusat dunia. Para pemikirnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Touraine, Giddens dan Bourdieu.
Foucault misalnya, seorang filosof yang merayakan matinya subjek, mengatakan bahwa dunia wacana merupakan dunia yang bisa dimasuki manusia, yang di dalamnya sudah terstruktur relasi kekuasaan tertentu. Dan juga di dalamnya bahasa mereproduksi dirinya sendiri dalam memori, imajinasi dan perhatian. Di sini wacanalah yang berdaulat. Manusia (subjek) tidak punya kekuatan apa-apa dalam dunia wacana ini. Ini berarti manusia postmodern terserap dalam dunia discourse. Senada dengan Foucault, Baudrillard juga punya pandangan yang sama bahwa manusia posmodernis itu telah terserap dalam dunia objek. Manusia telah dibentuk oleh objek. Meskipun dikatakan bahwa manusia bisa memproduksi objek, tapi kebanyakan manusia hanya sebagai konsumen objek-objek tersebut. Manusia terserap dalam logika objek, yang di dalamnya terdapat irama pergantian bentuk, gaya dan citra. Objek kini menjadi pusat dunia, kebalikan dari apa yang dikatakan Descartes, bahwa subjek (cogito) menjadi pusat dunia. (Yasraf Amir Piling, 2006: 4-5).
Sedangakan Heidegger mengkeritik pemikiran yang mengatakan bahwa kebenaaran itu ada dalam diri subjek (individu). Inilah yang ia kataka sebagai "subjek tertutup". Tertutup dari kebenaran yang ada di luar dirinya. Dan kemudian dia mengajukan "subjek terbuka". Subjek yang membuka diri terhadap kebenaran yang ada di luar dirinya. Subjek yang seperti ini berarti subjek yang mempunyai kemampuan atau kapasitas untuk menafsir, sekaligus juga terbuka terhadap dunia yang diinterpretasikannya dalam rangka menemukan eksistensinya yang lebih dalam. Subjek yang seperti ini adalah subjek yang tidak hanyut dalam dunia bentukan sosialnya, dengan berupaya menafsirkannya untuk menemukan dunia eksistensinya yang paling esensi. Para pemikir hermeneutik, Gadamer dan Ricoeur juga menempatkan subjek bukan sebagai yang pasif, melainkan subjek yang aktif. Subjek yang berperan dan membentuk dunia realitasnya sendiri.
Homo Minimalis
Istilah minimalis sering digunakan untuk menyebut suatau perbuatan atau keadaan yang minimal, keadaan yang terjerat dalam perspektif dan visi minimalisme. Sedangakan minimalisme dalam posmodern adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi minimalis, dalam artian ia dibangun oleh dasar, determinasi, keberaturan, ketetapan yang minimal. Dalam epistemologi atau ontologi misalnya, tidak memiliki pengetahuan yang universal tentang benar-salah atau baik-buruk. Itulah manusia posmodern minimalis, yang secara umum memiiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, manusia ironis (homo ironia). Manusia ironis cenderung melihat segala sesuatu itu, baik masalah kebenaran atau kebaikan mislanya, selalu berada dalam ketidakpastian atau kontingen. Meskipun mereka mempercayai adanya ukuran-ukuran tersendiri dalam moral baik-buruk atau benar-salah, tapi mereka meyakini bahwa ukuran itu sendiri selalu berubah-ubah, kontingen atau tidak tetap. Di sisi lain manusia ironis ini mempunyai tekad yang kuat untuk tetap survive dalam keadaan macam apa pun. Mereka mengabaikan rasionalisme universal. Misalnya dalam situasi gejala konsumerisme yang menggilakan ini, mereka sadar bahwa itu akan menghancurkan, tapi tetap mereka ikut arus itu demi keeksistensian dan kesurvaivan mereka.