Budaya Islami vs Pop Culture: Potret Budaya Mahasiswa UIN
Oleh Anwar Syueb Tandjung*
Berbicara persoalan budaya merupakan pembicaraan yang cukup pelik dan licin. Ini setidaknya diakui oleh para pemikir atau pemerhati kebudayaan khususnya, keseluruhan manusia sebagai individu umumnya. Ini dimungkinkan karena sifat budaya  itu sendiri yang dinamis. Budaya akan muncul, berkembang, bertahan atau statis, berubah dan menghilang seturut dengan perubahan yang terjadi pada manusia sebagai subjek atau masyarakat itu sendiri. Di mana manusia sebagai subjek yang aktif mampu memproduksi sekaligus pelaku dari suatu diskursus yang telah ada dalam masyarakat tersebut. Meskipun sang subjek ini tidak mampu keluar dari kungkungan diskursus itu, ia setidaknya tidak pasif atau manut begitu saja terhadap diskursus atau struktur yang ada. Ia berusaha semampunya untuk menghadapinya.
Dalam hal ini, yakni kegiatan memotret dari pelbagai budaya yang melekat dalam diri Mahasiswa UIN Jakarta, saya akan menggunakan analisis subjek dalam pemikiran posmodernisme yang seterusnya dikaitkan dengan pola pilihan konsumsi mereka terhadap relitas yang ada di sekitar UIN Jakarta sendiri khususnya, dan yang ada di dunia umumnya. Namun sebelum itu saya terlebih dahulu membicarakan masala budaya Islami dan pop culture sekaligus memahami definisi, penjelasan dan hal-hal yang terkait dengan istilah "budaya" itu sendiri. Secara etimologi budaya berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere-colui-cultus, yang berarti menanam, memelihara, merawat dan mendiami. Dengan demikian pada mulanya colere berkaitan dengan perihal tanam-menanam. Namun colere juga berarti menghormati, menyembah, beribada dan merayakannya. Dari kata kerja itu, cultura berarti pengusahaan tanah, yang kemudian beralih ke kultivasi terhadap kemampuan pikiran manusia. (Thomas Kristiatmo, 2008: 73-74).
Secara terminologi, "budaya" memiliki berbagai arti yang cukup luas. Di sini setidaknya secara garis besar ada tiga pengertian yang ditawarkan pemikir kebudayaan Raymond Williams. Pertama, budaya dikonotasikan sebagai suatu proses perkembangan intelektualitas, spirritualitas dan estetis. Kedua, budaya bisa berarti pandangan hidup dari suatu masyarakat tertentu, kelompok bahkan individu. Ketiga, budaya bisa berarti suatu karya dan praktek-praktek intelektual, tertutama yang bernuansa artistik. (Ridho Al-Hamdi, 2009: 1).
Dari berbagai corak definisi di atas, kita dapat pahami bahwa kebudayaan itu adalah ciri khas manusia. Kebudayaan itu merupakan proses kreatifitas manusia dalam menyempurnakan apa pun yang dihadapi dan dihidupi. Bahkan menurut E. B. Tylor mendefinisikan kebudayaan itu sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, adat istiadat dan serta kebiasaan yang terdapat di suatu masyarakat tersebut.(Thomas Kristiatmo, 2008: 75). Chris Barker menegaskan bahwa kebudayaan itu adalah hal-hal yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengamini apa yang dikatakan Raymond Williams yang menekankan bahwa kebudayaan itu merupakan dari karakter kesehari-harian (masyarakat) sebagai keseluruhan cara hidup. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa konsep yang diajukan oleh Williams itu merupakan konsep antropologis, karena berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti nilai, norma dan benda-benda materil atau symbol-simbol yang ada di dalam masyarakat tersebut. (Chris Barker, 2005: 49-50).
Budaya Islami merupakan suatu perkataan yang mendasarkan Islam selain sebagai agama yang melulu berurusan antara manusia dengan Tuhannya, juga sebagai pandangan hidup yang yang memberikan pedoman kepada manusia dalam semua aspek kehidupannya. Maka semua yang berkaitan dengannya, baik yang berhubungan langsung dengan tata-cara peribadatannya ataupun tidak itu bisa dikatakan sebagai budaya islami. Seperti: karya-karya seni; arsitektur, gerafis, lukis, musik sastra dan lain-lainnya. Juga semua tindakannya akan dilihat sebagai sebuah ekspresi dari penghayatan keislamannya. Ini yang ditegaskan oleh Dr. Kautsar Azhari Noer dalam Ensiklopedi Dunia Islam, Islam sebagai fenomena kultural. Juga kalau kita baca buku Kultur Islam karya Dr. Oemar Amin Hoesen (1964) yang setebal 606 halaman itu, kita akan melihat seluru isinya yang dikaitkan dengan Islam. Mulai dari Ilmu Kedokteran, Matematika, Bangunan, Seni sampai Sastra semua pada dasarnya berasaskan Islam. Ini mungkin terlihat memaksakan, tapi begitulah adanya "ego seorang muslim". Hingga akhir-akhir ini pun di UIN Jakarta khususnya, dunia muslim umumnya paham yang seperti itu mulai digencarkan dan mengintensifkan pendakwahannya dengan berbagai media. Di UIN Jakarta sendiri di gencarkan oleh Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara, yang mempopulerkan istilah "Integrasi" sebagai kata kuncinya.
Menurut saya hal-hal seperti itu terlalu memaksakan diri dengan ego yang menutup diri dari yang "Liyan". Istilah "integrasi" yang digunakan untuk penyatuan ilmu-ilmu umum ke dalam agama itu sendiri terlalu "sempit", karena tidak berdasr dan dipenuhi sikap keegoistisan atau keeklusifan para pensyarah atau pemikir (komentator) muslim terhadap kitab-kitab babon yang ditulis oleh orang-orang muslim. Padahal mereka belum tentu mengatakan bahwa ilmu itu, ilmu atau budaya Islam. Hanya saja ditulis oleh seorang muslim, itu tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah ilmu atau budaya Islam. Seprti halnya Ikhwanushafa, al-Kindi Ibn Sina dan para filosof lainya abad ke-8-10 M/2-4 H. yang menulis tentang Fisika, Ilmu Kedokteran, Matematika dan lain-lainnya. Ilmu-ilmu seperti itu jauh-jauh sebelumnya, yakni pada abad ke-6-1 SM pun sudah pernah dibicarakan oleh para filosof Yunani pada massa itu. Seperti: Heraclitus, Parminedes, Pythagoras, Plato, Aristoteles dan yang lain-lainnya. (lihatlah Ahmad Hanafi, 1990). Itu menandakan bahwa ilmu-ilmu seperti itu bukan budaya islam asli.
Apalagi seperti yang dikatakan Baban Banita (2009) dalam artikelnya yang berjudul Seni Budaya Islami. Ia mengatakan bahwa "(budaya) Islami bagi saya adalah sebuah situasi dan kondisi suatu proses yang didasari oleh tujuan untuk menuju jalan Allah. Artinya, segala kegiatan yang dilakukan itu selalu diwarnai oleh nilai-nilai keislaman. Dengan demikian, bagi umat Islam nilai yang harus mengarahkan seluruh aktivitasnya, lahir dan batin, dan yang kepadanya bermuara seluruh gerak langkah dan detak jantung adalah keesaan Allah (tauhid)".
Hal yang seperti itu menurut saya sungguh terlalu mempersempit atau mempermudah hal-hal yang sebenarnya begitu rumit dan pelik. Pandangan seperti itu telah meloncat jauh dari realitas manusia itu sendiri yang hidup bersama dengan yang lainnya dalam suatu diskursus yang pelik dan keras. Ini sungguh delematis, di mana di setiap masyarakat punya norma-norma atau nilai-nilai etisnya tersendiri yang itu ada dengan sendirinya seiring dengan waktu pergulatan masyarakat itu sendiri di tempat tertentu, yang norma-norma itu sendiri berbeda dengan norma-norma yang lahir dari Islam, terus seorang Muslim yang hidup di dalam norma yang beda dengan keyakinannya memaksakan diri mengaplikasikan atau menerapkan noramanya dalam kehidupan kesehari-hariannya. Di sini delematisnya, ketika seorang Muslim itu memaksakan diri mengikuti nilai keislamannya dalam aktivitas lahir dan batinnya dalam masyarakat yang berbeda. Yang saya maksud di sini sangat sulit masyarakat menerima tindakan sesorang yang tidak sesuai dengan norma atau nilai yang ada. Dan hal ini kalau dipaksakan akan terjadi kekacauan atau ketidak harmonisan dalam bermasyarakat.
Sedangkan istilah "Pop Culture" merupakan kata yang berorientasi kepada kondisi kekinian. Istilah "Pop" sendiri adalah singkatan dari Populer. Pop culture atau budaya populer adalah budaya yang disenangi atau disukai banyak orang. Seperti yang terjadi saat ini, yakni yang sudah menjadi gejala global keranjingan facebook, playstation, musik-musik pop dan masih banyak yang lainnya yang disukai banyak orang di massa kini. Sering juga budaya pop itu disebut sebagai budaya massa, budaya komersil, budaya tinggi dan budaya indah. Ridho mengatakan dengan mengutip perkataan Idi Subandi Ibrahim, "budaya popular merupakan budaya massa yang ditopang oleh industri kebudayaaan (cultural industry), serta mengonstruksi masyarakat bukan hanya berdasarkan konsumsi, tetapi juga menjadikan semua artefak sebagi produk industri.(Ridho Al-Hamdi, 2009: 3).