Mohon tunggu...
Anwar Santoso
Anwar Santoso Mohon Tunggu... -

Anwar Santoso adalah seorang konsultan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Moral Tidak Masuk UN

1 Mei 2014   13:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lega rasanya. Mungkin hal ini muncul dalam benak adik-adik kita yang masih duduk di SMA. Setelah menghadapi apa yang disebut Ujian Nasional. Rasanya beban berat di pundak mereka lenyap seketika. Ada yang gembira karena mengerjakannya dengan mudah. Ada yang sedih karena mengerjakannya dengan terseok-seok. Dan nasi sudah menjadi bubur. Apa yang berlalu biarlah berlalu. Yang menjadi fokus kita saat ini adalah bagaimana agar bubur ini menjadi enak rasanya. Dan saya tidak akan membahas bubur saat ini. Yang akan saya bahas adalah sebuah problem yang terjadi saat UN. Problem yang menjadi noktah merah pendidikan negeri ini. Yuk mari.

Ada kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Saya heran saat membaca berita ini. Nampaknya problem seperti ini tetap tak kunjung berakhir. Meski soal ujian telah dihadirkan dalam 20 tipe. Dan banyaknya tipe soal yang disajikan ternyata tak menjamin UN bebas kecurangan. Mendikbud Mohammad Nuh bahkan mengakui tak hanya mendapat laporan. Mohammad Nuh juga menemukan jawaban UN yang bocor dari naskah soal UN SMA/SMK. Beliau menemukannya di Bandung pada H-3, 16 April lalu. Perlu adanya sebuah evaluasi dan solusi untuk menghadapi kecurangan pelaksanaan UN.

“Prihatin”, hal ini mungkin terbetik di sanubari Anda. Saat Anda membaca berita tentang kecurangan dalam dunia pendidikan. Kecurangan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Apakah yang menyebabkan kecurangan ini terjadi? Apakah terjadi kekeliruan dalam sistem pendidikan kita? Apakah para cendekiawan negeri ini melakukan kekeliruan saat mendesain sistem tersebut? Saya rasa bukan. Saya rasa alasan kecurangan ini terjadi, terletak pada hal yang lebih mendasar. Sebuah hal yang kita sebut moral.

Ukuran moralitas dan kualitas jauh lebih mendasar daripada nilai kuantitatif pada setiap mata pelajaran. UN dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dan apa arti “kualitas” jika skore yang diraih berkat kecurangan. Tentunya ini akan sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Ada 20 tipe soal yang dihidangkan pemerintah pada UN kali ini. Ini adalah upaya pemerintah untuk menekan kecurangan. Apakah ini adalah cara terbaik untuk menekan kecurangan? Coba kita renungkan pendapat Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Prof Wuryadi, langkah ini justru bukti ketidakpercayaan terhadap siswa secara berlebihan. Langkah yang kemudian dianggap sebagai teror oleh para peserta UN. Akibat rasa takut berlebih maka stress menumpuk dan rasa percaya diri pun anjlog. Dan bukan hanya siswa saja yang terjangkit hal ini. Pihak sekolah (guru) pun mendapat imbasnya. Karena jika murid gagal UN, maka sanksi sosial akan menimpa sekolah. Sekolah akan dianggap tidak becus dalam mendidik murid. Rangkaian pola pikir ini, mendorong guru/sekolah dan peserta UN, melakukan kecurangan bersama.

Apakah tujuan dari pendidikan? Apakah untuk menghasilkan siswa dengan nilai tinggi? Saya rasa tidak. Bukan hanya nilai tinggi saja yang harus dikejar. Tetapi bagaimana membuat para siswa untuk mampu belajar dan bernalar lebih baik. Nalar yang dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara masuk dalam ranah karsa. Yang diikuti oleh rasa yakni afeksi yang mampu menimbang baik-buruk. Kemudian sampai pada cipta yakni perilaku muncul sebagai karakter.

Kita tidak perlu memikirkan siapa yang salah dalam kasus ini. Yang perlu kita pikirkan adalah apa yang harus kita lakukan agar masalah ini tidak menjadi lebih runyam. Bagaimana kalau kita memulainya dari hal yang sederhana. Hal sederhana seperti sebuah pujian. Kita memuji anak kita saat mendapat nilai 100 di raport. Dan apakah kita memujinya saat dia mendapat nilai 65 di raport? Nilai yang mungkin didapat dengan kerja keras dan kejujuran. Jika Anda tidak menghargai kejujuran yang dilakukan oleh orang lain. Niscaya tidak ada lagi orang jujur di negeri ini. Hargailah sebuah kerja jujur meski itu kecil. Dan carilah solusi bersama agar bisa mengoptimalkan hasil kerja jujur tersebut.

Anwar Santoso

Blog

Facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun