Penulis: Khoerul Anwar
Laut China Selatan merupakan salah satu kawasan maritim yang selalu memunculkan dinamika geopolitik yang rumit di dunia. Laut Cina Selatan yang kaya akan sumber daya perikanan menyumbang potensi besar tangkapan ikan dunia, dan memainkan peran penting dalam mata pencaharian jutaan orang di kawasan ini.Â
Laut Cina Selatan juga berperan penting dalam perdagangan internasional, bertindak sebagai saluran penting yang mengakomodasi lebih dari sepertiga lalu lintas maritim global yang membawa potensi perdagangan senilai triliunan dollar per tahun dan menghubungkan ekonomi utama di Asia dengan pasar di Eropa, Afrika, dan Amerika.Â
Selain itu, cadangan minyak dan gas alamnya yang belum dimanfaatkan juga cukup besar. Akibatnya, Laut Cina Selatan menjadi panggung utama geopolitik bagi tuntutan teritorial yang saling bersaing dan yurisdiksi maritim yang saling bersinggungan.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 memberi hak berdaulat kepada Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berada di bawah ZEE Indonesia tanpa boleh diganggu oleh negara lain.Â
Oleh karena itu, Indonesia menolak klaim China dalam bentuk apapun di Laut Natuna, sebab ZEE Indonesia di Laut Natuna telah diatur dalam UNCLOS. Sebaliknya, China mengklaim kawasan yang dilewati nelayan dan kapal Coast Guard-nya di ZEE Indonesia merupakan wilayahnya berdasarkan konsep Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) yang ditetapkan sepihak oleh China (tanpa melalui UNCLOS) dan menjadi dasar China mengklaim perairan Laut Natuna, bahkan Laut China Selatan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Pusat Penelitian dan Badan Keahlian DPR RI Bidang Hubungan Internasional menjelaskan bahwa sejak tahun 2016 sampai 2020 kapal nelayan dan Coast Guard China beberapa kali melakukan pelanggaran kedaulatan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Laut Natuna Utara.Â
Keberadaan permasalahan ini mengilustrasikan suatu bentuk ancaman yang secara substansial akan menghasilkan dampak negatif bagi negara dan hak kedaulatan negara dalam melakukan pengelolaan sumber daya lautnya. Ketidaksamaan dasar hukum antara Indonesia dan China soal kedaulatan di perairan Laut Natuna menjadi tantangan bagi Indonesia, terutama bagaimana menegakan citra kedaulatan Indonesia guna mempertahankan hak berdaulat Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Laut Natuna Utara di tengah arus dinamika geopolitik Laut China Selatan.
Dalam menegakan citra kedaulatan Indonesia di tengah ancaman konflik Laut China Selatan, media memiliki peran yang sangat penting untuk menyebarkan informasi dan membangun kesadaran publik tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim. Selama ini profesionalisme kekuatan militer TNI AL Indonesia sangat baik dan sering menggelar Latihan siap siaga dalam menghadapi situasi ancaman dalam bentuk apapun demi menjaga laut nusantara.Â