Resah selalu timbul setiap kali membuka linimasa media sosial beberapa minggu belakangan. Berbagai isu bermunculan berebut perhatian. Mulai dari revisi UU KPK yang bisa memudahkan jalan para koruptor, kebakaran hutan dan lahan yang semakin parah, penundaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan sederet rancangan undang-undang lain yang tak berpihak pada publik.Seminggu dua minggu berlalu, kampanye-kampanye digital dilancarkan. Petisi-petisi daring disebarkan. Dan publik menyatakan kekecewaannya. Aktivis dan buzzer beradu argumen tentang rezim yang katanya kini dipimpin orang baik.
Tapi kita tidak sedang baik-baik saja.Riuh percakapan politik ini dimulai ketika para anggota Dewan Parlemen yang terhormat akhirnya bangun dari tidur panjangnya. Jelang pergantian tahun jabatan, para anggota kejar setoran mengebut rancangan undang-undang yang lama tertunda. Lucunya yang dikejar malah bukan rancangan undang-undang yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 alias rancangan undang-undang prioritas.
Salah satu yang paling dikejar peresmiannya adalah revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hanya 13 hari yang dibutuhkan para anggota Dewan yang terhormat untuk meresmikannya. Terlepas dari semua kecaman publik, revisi ini pun mendapat restu dari pemerintah lewat Surat Presiden (Surpres) dari Jokowi Widodo. Kita tidak sedang baik-baik saja.
Sebagai anak kandung reformasi, KPK merupakan satu-satunya institusi yang hingga kini masih memiliki intergritas dan dipercaya publik dalam membekuk tikus-tikus pemeras negara. Namun, di umurnya yang masih begitu muda, KPK mesti dilemahkan. Ya, revisi UU KPK akan membatasi institusi itu dalam menyadap tersangka korupsi dan dipersulit melakukan penangkapan. Hak asasi manusia dijadikan alasan. Padahal ada masalah-masalah HAM serius yang lebih konkret dan belum selesai yang selalu enggan mereka hadapi. Jelas kita tidak sedang baik-baik saja.
Tak hanya itu KPK juga akan memiliki Dewan Pengawas yang isinya akan ditentukan oleh pemerintah. Belum lagi proses pemilihan calon pimpinan baru KPK yang juga tak kalah bermasalah. Tak ada satu pun Capim KPK yang mempunyai jejak bersih. Namun, itu tak menghentikan DPR untuk meresmikannya.
Isu-isu radikalisme dan rumor soal masuknya 'Taliban' ke dalam tubuh KPK dijadikan amunisi untuk menjustifikasi revisi UU KPK. Padahal tak ada satu pun pasal dalam revisi tersebut yang dibuat untuk mencegah hal-hal seperti radikalisme dalam institusi tersebut.
Sebelum ramai revisi UU KPK, kita semua disuguhkan debat soal separatisme Papua. Ujaran rasis penuh kebencian terhadap mahasiswa Papua di asrama mereka di Surabaya berujung demonstrasi dan represi di Papua oleh aparat TNI. Tak hanya itu, aktivis HAM yang memberitakan persoalan tersebut pun dikriminalisasi. Ya, bukan oknum yang mengeluarkan ujaran kebencian yang dikejar, malah aktivis yang membela yang mau ditangkap. Kita tidak sedang baik-baik saja.
Belum selesai, hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatra terbakar. Kebakaran tanah gambut di dua pulau tersebut merupakan hal yang terjadi berulang. Penyebabnya adalah pembukaan lahan oleh perusahaan sawit. Di tengah desakan publik kepada pemerintah untuk bergerak. Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informasi malah meluncurkan kampanye Sawit Baik.
Publik merespons dengan jargon, "Hutan yang dibakar, KPK yang dipadamkan." Percakapan di ruang-ruang digital kian ramai ketika pembahasan RUU PKS diumumkan akan kembali ditunda. Ada pula revisi RKUHP yang memunculkan pasal-pasal sumir dan kacau, mengatur hak-hak privat masyarakat dan mengancam demokrasi seperti penghinaan terhadap presiden hingga pasal penistaan agama yang sudah terbukti sering disalahgunakan. Kita sedang tidak baik-baik saja.
Menyusul kemudian pembahasan RUU lainnya yang sama sekali tak berpihak kepada publik. Mulai dari revisi Undang-undang Ketenagakerjaan yang kian melemahkan perlindungan terhadap pekerja, RUU Minerba yang bisa melanggengkan praktik-praktik usaha ekstraksi yang merusak lingkungan hidup, RUU Pemasyarakatan yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi---terpidana korupsi bisa mendapatkan remisi dengan rekomendasi KPK dalam RUU ini.
Ada pula RUU Pertanahan yang berpotensi disalahgunakan aparatur pemerintahan untuk mengambil tanah-tanah masyarakat. Ini tentu mengancam kelangsungan para petani di daerah dan mengancam lingkungan hidup. Kita memang sedang tidak baik-baik saja. Ruang digital akhirnya menjadi begitu sesak dengan perdebatan dan kecaman. Panggilan-panggilan untuk turun ke jalan pun bersaut-sautan. Dan terjadilah aksi 23-24 September 2019 kini. Masyarakat lagi-lagi turun ke jalan.
Kini membawa tujuh tuntutan. Pertama menolak RUKHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, mendesak pembatalan UU KPK dan UU SDA, mendesak disahkannya RUU PKS dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Kedua, membatalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR. Ketiga, menolak TNI & Polri menempati jabatan sipil. Keempat, menghentikan militerisme di Papua dan daerah lain serta untuk membebaskan tahanan politik segera.
Kelima, menghentikan kriminalisasi aktivis. Keenam, menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta menindak pidana perusahaan pelaku pembakaran serta mencabut izinnya. Ketujuh, untuk menuntaskan pelanggaran HAM dan untuk mengadili penjaha HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan.
Kita memang tak sedang baik-baik saja. Tak hanya polusi udara Jakarta dan asap pembakaran hutan di Kalimantan yang membuat sesak, ulah para anggota dewan pun membuat muak. Kini sebagian dari mahasiswa turun ke jalan-jalan, membuktikan bahwa aspirasi kita semua bukan sekadar cuitan di media sosial. Tak hanya di Jakarta, seruan-seruan aksi bermunculan di Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Malang, Semarang, jepara dan kota-kota lainnya. Panjang umur perjuangan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H