Mohon tunggu...
anwar abugaza
anwar abugaza Mohon Tunggu... Dosen - Penulis bidang politik dan sosial media

penulis buku social media politica

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kapolri, Drama yang Belum Usai

30 Januari 2015   17:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Carut marut tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini benar-benar terasa, kehendak Presiden yang memiliki hak prerogarif untuk menentukan pembantu-pembantunya terbentur dan cenderung tersendara oleh kewenangan KPK yang kadang-kadang kebablasan, DPR sebagai lembaga tinggi kehendak rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Muncul pertanyaan siapa sebenarnya yang berhak mengatur negara ini, Jowoki sebagai Presiden atau Abraham Samad sebagai pimpinan KPK, atau justru Megawati dan Surya Paloh sebagai ketua Umum partai pengusung Jokowi-JK.

Kasus pergantian Kapolri menyajikan drama tingkat tinggi di negeri ini, berbagai skenario pun dimunculkan mulai dari barisan sakit hati seorang Abraham Samad yang tidak direstui untuk menjadi Calon wakil presiden Jokowi dan penolakan internal PDIP kepada Abraham untuk calon Jaksa Agung RI, Budi Gunawan sebagai pilihan Megawati untuk mengamankan kepentingan PDIP, Internal petinggi Polri yang segaja mempermainkan Jokowi yang berakhir pada pergantian Kapolri dan Kabareskrim, sampai keinginan jokowi sendiri yang tidak ingin Budi Gunawan sebagai Kapolri lalu menjadikan KPK sebagai tempat membenturkan persoalan.

Bola panas ini juga mengalir deras di sosial media Prof Yusril Ihza Mahendra melalui akunt Twitternya @Yusrilihza_Mhd berkicau “Plt Kapolri itu baru ada kalau Kapolri diberhentikan sementara dlm keadaan mendesak. Keadaan mendesak itu karena Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara. Dlm keadaan normal Presiden tdk bisa berhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR. Dlm kasus Sutarman dan BG (Budi Gunawan), kalau Presiden menunda pengangkatan BG, mestinya Sutarman blm diberhentikan meski DPR sdh setuju dia berhenti. SBY juga tidak mau kalah melalui akunt Twitternya @SBYodhuyono menyindir dengan kicaun "Mari kita selamatkan Negara, Presiden dan Polri. Dengarkan suara rakyat,".

Logika waras kita, setiap persoalan besar yang muncul apalagi terkait dengan pergantian Kapolri tidak akan mengalir begitu saja, Jokowi yang menurut berbagai sumber telah mengetahui bahwa nama Budi Gunawan telah di Stabilo Merah oleh KPK, tidak akan begitu saja memberi nama itu ke DPR tanpa ada komunikasi personal dengan pihak KPK, apalagi hubungan Abraham dan Jokowi cenderung tidak ada masalah. Tekanan besar dan kekecewaan Megawati terus mengemuka atas jatah bagi-bagi jabatan yang belum tuntas di kabinet berlanjut di pemilihan Kapolri, apalagi Surya Paloh telah kebagian jatah Jaksa Agung sementara PDIP belum dapat apa-apalagi, sikap ini diperkuat dengan ngototnya politis PDIP di DPR Trimediat Panjaitan yang terus mendesak Jokowi untuk melantik Budi gunawan jadi Kapolri.

Jokowi kembali mencoba menghindar dan keluar dari tekanan Megawati walau dengan judul besar yang sama “KPK” namun versi yang berbeda, tetapi sayang jebakan publik terus menyandra dan saat ini persoalan yang dihadapi pemerintahan Jokowi jauh lebih besar dan harus berhadapan dengan publik.

Start awal yang buruk

Perjalanan pemerintah Jowoki-JK telah dimulai dengan segedung persoalan, Pendiri Lembaga Survey Indonesia, Denny Januar Ali, berkicau soal 'blunder Presiden Jokowi'. Melalui akun twitternya, @DennyJA_WORLDmenyoroti beberapa tindakan dan keputusan presiden, termasuk pemilihan jaksa agung dari partai politik.Tak hanya itu, ia juga menyebut Jokowi melalukan blunder dengan menaikkan BBM dikala harga minyak dunia turun. Begitu juga kala Jokowi gagal membentuk kabinet ramping dan non-transaksional. (Republika.co.id).

Bayang-bayang kegagalan Presiden Jokowi mulai terdengar kencang, pemerintahan yang tidak memiliki independensi dan terus berada dalam pengaruh besar partai pengusung yang telah berhasil memaksakan  orang-orang tidak berkompeten masuk kabinet, ditambah lagi arus bawah yang dipelopori relawan ‘salam 2 jari’, yang selama ini kencang mendukung jokowi juga mulai mengambil ancang-ancang untuk menjauh dan berbalik menyerang, akan menjadi babak baru dalam pemerintahan yang baru terbentuk.

Pelajaran sejarah ketika Megawati berkuasa sebagai presiden RI pengganti Gusdur tahun 2002-2004, memulai pemerintahan dengan segudang persoalan, tidak mampu diselesaikan dan berakhir pada pengadilan rakyat yang menghukum Megawati pada pemilihan umum 2004, baik pemilihan legislatif dengan kekalahan PDIP maupun pemilihan Presiden kekalahan atas SBY.

Jokowi kita harapkan bersama, tidak terjebak pada lubang yang sama dengan Megawati, masih ada waktu untuk memperbaiki, namun ketika tidak mampu melakukan itu, memang takdir PDIP yang mengusung Jokowi telah tertulis sebagai Oposisi di Negeri ini, dua kali kesempatan menjadi partai penguasa tidak pernah digunakan dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun