Minggu kemarin Nenek Sri yang tinggal di kampung datang ke Jakarta menengok Cucunya. Banyak hal dilihatnya selama berada di ibu kota. Setiap mendapat pengalaman baru, komentarnya selalu menarik untuk dikaji. Kemarin ia diajak makan siang di food-court sebuah mall. Kebetulan yang dipilih Cucunya adalah restoran siap saji waralaba dari Jepang. Seperti yang lazim dia lakukan di restoran, Nenek lantas duduk dengan tenang sambil menanti sang pelayan menawarkan menu yang akan dipesannya. Sementara sang Cucu berbelanja. Cukup lama menunggu, tak seorang pelayan pun menghampirinya. “restoran macam apa ini?, setiap orang sibuk sendiri-sendiri”, begitu pikirnya. Melihat Neneknya masih duduk bengong, si Cucu lantas menjelaskan cara mendapatkan makanan. “Nek, kita mesti antre dalam barisan itu. Mengambil nampan sendiri lalu bergeser ke makanan-makanan yang tersedia. Ambil saja apa yang Nenek suka. Di ujung sana kasir akan menyebutkan berapa yang harus kita bayar”.
Sampai di rumah sang Cucu menunggu komentar Nenek atas pengalamannya hari itu. “wah, di kota besar ini semuanya serba sendiri. Kamu bisa mengambil apa saja yang kamu inginkan, asal bersedia membayar. Persis seperti kehidupan ini. Kita bisa menginginkan kesuksesan, kebahagiaan atau apa saja. Tapi kita tidak akan memperolehnya kalau hanya duduk dan berdiam menunggu. Kita harus berdiri dan mencarinya sendiri”.
Begitulah Nenek. Kejadian sekecil apapun, di matanya bisa menjadi perkara besar. Dia benar. Seperti yang dikatakan oleh dokter yang juga wartawan dan penyair Amerika abad ke-19, Josiah Gilbert Holland, “... Tuhan memberi makanan kepada setiap burung, tetapi tidak dengan melemparkannya ke sarang mereka masing-masing”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H