Pasca Pemilihan Umum Bangladesh yang dilaksanakan pada 30 Desember 2018, seorang jurnalis Bangladesh ditangkap dan satu lainnya melarikan diri atas tuduhan menyebarkan "informasi palsu" mengenai keganjilan dalam pemilihan umum yang dimenangkan oleh Perdana Menteri Syeikh Hasina.
Wartawan surat kabar Dhaka Tribune, Hedayet Hossain Mollah, ditangkap pada Selasa malam di bawah pasal keamanan digital. Mollah ditangkap di wilayah Khulna usai melaporkan adanya 22.419 suara tambahan yang jumlahnya melebihi pemilih terdaftar di sebuah konstituen. Kepolisian Bangladesh menuding Mollah menyebarkan informasi palsu agar proses pemilu ini dapat dipertanyakan.
Empat hari sebelumnya, pada 26 Desember, sekelompok wartawan Bangladesh diserang dengan tongkat hoki oleh sekitar 20 orang pemuda. Sepuluh wartawan terluka akibat insiden tersebut. Saat itu mereka sedang beristirahat di hotel setelah meliput kampanye pemilihan umum Bangladesh.
Dua peristiwa tersebut hanya bagian kecil dari kericuhan yang timbul saat Pemlu Bangladesh 2018. Tercatat 17 orang tewas ketika Pemilu dilangsungkan. Sebelummya, dalam masa kampanye juga terjadi tindak kekerasan, baik yang menimpa masyarakat sipil maupun wartawan yang sedang meliput.
Syeik Hasina Wajed, perdana menteri terpilih yang juga petahana, dituduh sejumlah pihak menjalankan pemerintah otoriter, termasuk dengan membungkam media dan menghentikan sarana komunikasi. Pada saat hari pemungutan suara, pemerintah Bangladesh memblokir layanan internet untuk menghentikan desas-desus yang beredar di media sosial demi menghindari kesuruhan.
Hasina setahun sebelum pemilu juga memperkuat Undang-Undang Keamanan Digital (DSA) di Bangladesh. Beberapa media yang vokal terhadap pemerintahaannya diberangus. Bahkan jurnalis ternama yang pernah menang penghargaan jurnalisme, Shahidul Alam, dipenjara karena terjerat UU tersebut. Shahidul Alam dipenjara karena tuduhan membuat pernyataan palsu dan provokatif di Al-Jazeera.
Pada tanggal 22 Agustus 2017, Kabinet Perdana Menteri Sheikh Hasina menyetujui undang-undang Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) --semacam UU ITE di Indonesia- yang jika disahkan oleh legislatif, akan memberlakukan hukuman penjara yang kejam untuk pemberitaan online yang dianggap anti-negara atau ancaman bagi keamanan dan ketertiban nasional.
Hukuman 14 tahun penjara menjadi ancman kepada siapa pun yang secara sengaja menenerbitan atau menyebarkan informasi palsu, cabul atau menghina lewat website atau lewat media elektronik lainnya. Selain itu, berita yang merusak citra negara atau orang, atau menyakiti seseorang, keyakinan agama, atau menghasut terhadap setiap orang atau organisasi-adalah suatu pelanggaran dihukum.
Alih-alih meninjau ulang dan mereformasi undang-undang tersebut, pada 29 Januari 2018, pemerintah Bangladesh justru menyetujui rancangan undang-undang baru untuk menggantikan Undang-Undang Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang banyak dikritik. Rancangan ini bahkan lebih luas daripada undang-undang sebelumnya dan melanggar kewajiban internasional negara itu untuk melindungi kebebasan berbicara.
Menurut Direktur Asia Human Rights Watch, Brad Adam, di dalam Undang-Undang Kemanan Digital (DSA) setidaknya ada lima ketentuan berbeda yang memberikan hukuman pidana jenis ujaran yang didefinisikan secara samar, undang-undang tersebut tak ubahnya seperti izin yang digunakan secara luas untuk menekan suara-suara kritis.
Selain itu, tindakan kontrol yang sangat otoriter ditunjuk pemerintah untuk memblokir konten online berdasarkan keputusan sendiri (subyektif). Pembatasan atas kebebasan pers dan jurnalisme online telah menjadi skenario yang umum di Bangladesh.
Tahsin Khan, dosen Fakultas Hukum di Southeast University mengungkapkan perkembangan pers di Bangladesh saat ini seperti mimpi lama yang mulai lagi: penangkapan sewenang-wenang, penutupan perusahaan media, serangan pada wartawan oleh pendukung partai berkuasa, penyiksaan tahanan dan intimidasi. Bangladesh harus menyingkirkan setan tua intoleransi dan kekerasan terhadap wartawan dan setiap orang yang membuat berita.
Demokrasi dalam Konstitusi Namun Otoriter dalam Implementasi
Sistem pers suatu negara memiliki keterkaitan dengan sistem politik dan sistem ekonomi yang berlaku di negara itu. Sebagai negara yang menganut sistem politik demokrasi, Bangladesh pun menjalankan sistem pers yang mendukung iklim demokrasi.
Rakyat melalui pers diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengetahui segala informasi dan bebas mengkritik pemerintah. Namun kebebasan itu tetap dibatasi oleh aturan-aturan sehingga tidak merugikan salah satu pihak, baik itu pemerintah, masyarakat, maupu pers itu sendiri.
Di negera-negara berkembang, lahir dan tumbuh berbagai teori pers alternatif yang kemudian diadopsi menjadi sistem pers. Karena kondisi negara yang terus berkembang, peraturan-peraturan tentang pers pun selalu dikembangkan agar mengikuti perkembangan negara tersebut.
Pada hakikatnya konstitusi Bangladesh menjamin kebebasan pers dan kebebasan berekspresi namun tetap dibatasi oleh peraturan-peraturan. Untuk mengatur kehidupan pers disana, Bangladesh mempunyai dewan pers atau Bangladesh Press Council yang didirikan tahun 1979 yang terdiri dari satu orang ketua dengan 14 anggota yang menjabat selama 2 tahun.
Dasar pendirian dewan pers Bangladesh ini adalah UU. No. 27 Tahun 1974 tentang Dewan Pers Bangladesh (Press Council Act, 1974, Act No. XXV of 1974). Dalam undang-undang itu, dijabarkan pula tujuan didirikannya dewan pers ini adalah untuk melestarikan dan melindungi kebebasan pers serta mempertahankan dan meningkatkan standar surat kabar dan kantor berita.
Undang-undang itu juga memberikan kewenangan kepada dewan pers untuk memperingatkan, menegur, dan memberi kecaman serta kekuatan untuk membuat peraturan mengenai pers. Peraturan itu kelak dijadikan acuan atau pedoman pers dalam bekerja. Jika pers bekerja tidak sesuai dengan aturan itu, maka dewan pers berhak memberikan teguran hingga sanksi tegas.
Berdasarkan kondisi tersebut, Bangladesh dapat disebut menerapkan sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility). Sistem dan teori ini mengawinkan tiga prinsip yang berbeda: (a) prinsip kebebasan dan pilihan individu; (b) prinsip kebebasan media; dan (c) prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Media harus bersinergi dengan pemerintah dalam memberikan informasi seluas-luasnya pada masyarakat, namun media harus bersedia pula menyampaikan kritik masyarakat pada pemerintah.
Satu hal yang baru dari teori dan sistem pers tanggung jawab sosial adalah kehadiran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dengan substansi agar wartawan dan pers bertanggung jawab kepada masyarakat. KEJ juga berfungsi semacam rem bagi wartawan yaitu melaksanakan asas kontrol diri atau pengendalian diri dalam melaksanakan tugas profesinya.
Sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility) muncul pada awal abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran sistem ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan.
Pada hakikatnya teori dan sistem pers tanggung jawab sosial tetap berada dalam kerangka libertarian, karena meskipun pers diberi tanggung jawab sosial, titik beratnya tetap kepada kebebasan. Pers diberi kebebasan tetapi dalam rangka menjalankan kebebasannya, pers harus memiliki tanggung jawab kepada masyarakat.
Pieter P. Gero, mantan editor rubrik internasional Koran Harian Kompas, mengungkapkan sistem pers tanggung jawab sosial ini cocok untuk Bangladesh sebagai negara yang mulai berkembang baik politik dan ekonominya.
Pers harus berperan dalam mendukung perkembembangan negara dengan memberikan jalan keluar terhadap setiap permasalahan negara. "Mengkritik tapi dengan dasar yang kuat disertai jalan keluar dan tanggung jawab sosialnya. Karena kalau berita dibuat untuk memanas-manasi, akhirnya terjadi bentrok, balas dendam, tidak habis-habis," ujarnya.
Namun dalam pengaplikasiannya dalam kehidupan pers di negara berkembang, sering terjadi banyak pelanggaran atau hambatan. Menurut laporan Reporters Sans Frontieres (RSF), di Bangladesh, tidak disarankan untuk mengkritik Konstitusi Islam, yang merupakan agama negara. Mereka yang dianggap terlalu sekuler menjadi target kelompok-kelompok Islam militan. Pada tahun 2015, empat blogger sekuler tewas dan kasusnya tidak terlalu ditindaklanjuti oleh pemerintahan Bangladesh.
Menurut Kiki Rizky, mantan Kepala Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta, pemerintahan Bangladesh perlu melakukan penyelidikan dan penindakan tegas terhadap pelaku pembunuhan wartawan dan blogger disana.
Jika pemerintah Bangladesh tidak melakukan tindakan tegas dalam konteks menegakan hukum, dikhawatirkan akan menimbulkan banyak persepsi dari masyarakat yang mengacu pada keberpihakan pada sekte atau kelompok lain. “Bangladesh merupakan Negara yang sering terjadi konflik dikarenakan masyarakatnya sangat kuat dengan sekte.
Kasus kekerasan atau pembunuhan terhadap insan pers baik secara resmi atau tidak, bisa saja menunjukkan konflik kesekterian, dimana jika terhadap hal yang melenceng dianggap sebagai musuh,” ujarnya.
Menurut data yang dirilis oleh RSF, sebuah media pengamat pers yang berkedudukan di Prancis, Media Bangladesh berada di peringkat ke 146 dari 180 dalam indeks kebebasan pers pada tahun 2018 dengan nilai 48,62. Nilai itu mencerminkan intensitas kekerasan dan pelecehan terhadap wartawan dan penyedia informasi atau berita.
Bangladesh masuk dalam daftar negara dengan perlindungan wartawan yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan Indeks Kekebalan Hukum Global tahun 2018 yang dirilis Komite Perlindungan Wartawan (CJP), Bangladesh berada di peringkat 12 dari 14 negara. Sejak 1992, tercatat 21 jurnalis terbunuh, 19 jurnalis sengaja dibunuh.
Sejumlah orang ditahan selama berbulan-bulan sebelum dibebaskan untuk menunggu persidangan, dan beberapa dari mereka ditahan hanya karena menuliskan kritik politik di facebook atau menggambar karikatur Perdana Menteri Sheikh Hasina Wazed, keluarga, atau koleganya. Sejumlah orang lain ditangkap karena dituduh menghina agama atau mencemarkan nama baik.
Liga Awami disebut telah merebut 281 dari 350 kursi parlemen. Adapun kubu oposisi hanya menduduki tujuh kursi. Pemilu Bangladesh tahun 2018 ditandai dengan sejumlah bentrokan berdarah yang mengakibatkan setidaknya 17 orang meninggal dunia.
Sebagai masyarakat internasional, kita berharap perdana menteri terpilih, Syeikh Hasina Wazed dengan partai mayoritas di Parlemen Bangladesh, Liga Awami, dapat bersinergi melindungi dan menghargai kebebasan berbicara yang termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemerintah, parlemen, penegak hukum, juga kelompok mayoritas di Bangladesh semestinya menerima bahwa kritik dan saran, meski menyakitkan dan tidak mengenakan, adalah bagian dari kehidupan demokrasi dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Bangladesh seyogiannya menggelar konsultasi dengan masyarakat sipil, agar tujuan bersama yang telah dirumuskan sejak memutuskan untuk menjadi negara yang merdeka dapat tercapai. Bukan hanya mementingkan ego penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H