Pada puncak perayaan Hari Pers Nasional 2018 di Padang, 9 Februari 2018, ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, mengklaim Indonesia menjadi negara dengan jumlah media massa terbanyak di dunia, ada sekitar 47.000 media massa di Indonesia. Dari 47.000 media massa tersebut, 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi nasional maupun lokal dan selebihnya adalah media daring. Itu berarti sekitar 43.000 adalah media daring. Hingga Februari 2018, dari 43.000 media daring, hanya 168 atau atau 0,4% media daring yang profesional.
Dari segi keaktifan di dunia maya, data menunjukan orang Indonesia termasuk orang yang paling aktif berkomunikasi di Internet; berada di urutan kedua dunia di Facebook (40,5 juta akun) dan urutan ketiga 'tercerewet' di Twitter (12%).
Namun data di atas berbanding terbalik dengan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang berada jauh di peringkat ke 60 dar 61 negara. Â Â Â Â Â Â Hanya satu tingkat diatas Botswana, negara kecil di Afrika bagian selatan.
Alhasil terjadilah 'tsunami' informasi, di mana informasi yang beredar di jagat dunia maya sangat banyak namun memiliki kualitas yang rendah. Membludaknya berbagai informasi dan tersedianya beragam saluran komunikasi tidak menjadikan masyarakat semakin cerdas. Teknologi membuat siapa pun dapat membuat dan menyebarluaskan informasi, namun ketika seseorang malas membaca, malas mendalami informasi yang ingin disajikan, malas mencari fakta dan data, serta malas mencari rujukan ilmiah, dapat dipastikan informasi yang disajikan memiliki kualitas yang rendah.
Masalah pokok dalam jurnalisme media internet adalah kualitas dan kredibilitas informasi yang sampai ke masyarakat. Masalah kualitas dan kredibilitas ini berawal dari apa yang disucikan di media massa online sebagai 'kecepatan'. Atas nama kecepatan, pageview dan aspek bisnis, acapkali media online terjelembab menyampaikan informasi yang belum final keberannya, belum lengkap datanya dan tidak berimbang sehingga kerap menimbulkan mis-persepsi,  mis-interpretasi makna, bahkan menjurus pada berita bohong atau hoaks.
Selain masalah kualitas dan kredibilitas informasi, isi berita media online yang ada di Indonesia lebih banyak berisi berita singkat dan tidak mendalam. Pada umumnya media online memiki konsep penyajian berita yang ringkas dan mengandalkan banyak klik sehingga berita tidak terbit secara utuh. Padahal publik membutuhkan informasi yang utuh agar dapat memahami realitas yang sebenarnya.
Media berita dalam jaringan (daring) dipenuhi berita-berita pendek, clickbait, sensasional dan belum tervalidasi. Sifat masyarakat Indonesia yang malas membaca membuat berita seperti ini mampu mendatangkan klik yang banyak yang pada akhirnya meningkatkan page view media daring. Â
Tribunnews.com, Sebuah Ironi    Â
Situs media online Tribunnews.com yang mendapat kritik pedas dari pada pengamat media karena kerapkali menulis berita yang belum pasti kebenarannya, memuat berita-berita yang sensasional, trivialitas (dangkal atau bermakna kecil), serta tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik (KEJ). Namun, Tribunnews.com menjadi media online terpopuler di Indonesia. Mengalahkan Kompas.com, kakak kandung Tribunnews.com di jagad media online. Juga mengalahkan Google.com dan Youtube.com yang pasti diakses oleh semua orang.
Menurut data yang dihimpun dari Alexa.com, situs penyedia data statistik media online, Tribunnews.com menjadi situs terpopuler nomor satu di Indonesia dan menempati urutan 59 di dunia. Pada 22 November 2018, angka pageviews Tribunnews.com menyentuh angka 17.796.683 dan dikunjungi oleh 3.489.545 pengunjung.
Salah satu kritik paling pedas berasal dari Remotivi, pusat kajian media dan komunikasi. Remotivi menyebut Tribunnews.com sebagai pedagang informasi yang mempunyai julukan "palugada" yang bermakna 'apa lu mau gua ada'.