Para jurnalis era reformasi telah berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Jurnalis ikut mengawal proses reformasi pada saat itu agar sesuai dengan cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Perjuangannya dapat dirasakan hingga saat ini.
Namun, 20 tahun berlalu. Jurnalis saat ini seperti "dibajak" kembali oleh penguasa dan pemilik media. Jurnalis kehilangan profesionalisme dan energinya. Para jurnalis kini tak berdaya melawan intervensi penguasa dan pemilik.Â
Banyak berita pesanan mudah masuk ruang redaksi, dan berita kritis dibuang di tempat redaksi. Wartawan-wartawan yang kritis diberhentikan, ada pula yang mengundurkan diri karena mau idealismenya di injak-injak. Wartawan yang bertahan adalah wartawan yang lunak, ia adalah wartawan yang mengorbankan idealismenya demi pundi-pundi rupiah.
Yarnes Foni, seorang wartawan di Metro TV mengatakan, "kami kan kerja dibayar sama kantor, ya harus ikutin apa maunya kantor." Ia juga berkata, "walau KPI negur, kalau atasan suruh kami liput, ya kami tetap liput."[1]
Reporter dan pembawa acara berita di SCTV, Djati Darma mengatakan, "enggak kebayang gue, kerja di media yang sangat partisan kaya Metro TV dan TV One." Ia memang tidak bekerja di media yang sangat berpihak pada suatu partai tertentu. Namun ia juga mengatakan "namanya juga kerja di industri. Harus profesioanal."[2] SCTV kerap lagi menayangkan berita-berita yang mendukung kepentingan SCTV.
Perlu di galakkan kembali idealisme, profesionalisme, dan energi jurnalisme agar pers sebagai pilar demokrasi ke-empat kembali ditegakan. Bukan justru malah meruntuhkan demokrasi.
 Sumber:
[1] di kutip dari buku; Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. Hlm. 42
[2] Ibid, hlm. 45
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H