Mereka masih berusaha menghindari berita straight news. Dalam perjalanannya, intervensi pemilik kedalam ruang redaksi masih terjadi. Redaksi berusaha mengontrol berita-berita yang berkaitan dengan keluarga Cendana dan bisnis-bisnis si pemilik.
Indosiar membentuk Komisi Siaran yang bertugas menentukan naik atau tidaknya suatu berita. Komisi ini dipimpin oleh seorang pensiunan tentara. Salah satu pendiri RCTI dan SCTV, Peter Gontha begitu mengontrol program berita di stasiun televisinya.
Meski berada dalam iklim yang tak kondusif yang dibentuk pemerintah dan pemilik media, terdapat sosok-sosok jurnalis pembangkang. Mereka meramu strategi agar bisa menaikan berita-berita kritis sehingga mendorong lahirnya reformasi. Wartawan Indosiar berusaha mengirim beritanya menjelang deadline agar tak sempat di koreksi oleh Komisi Siaran. Bahkan ada yang memberikan obat tidur kedalam minuman tim Komisi Siaran.
Titik awal membangkangnya para jurnalis terhadap pemerintah dan pemilik media adalah ketika terjadi penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti. News Anchor RCTI, Desi Anwar dalam siarannya menggunakan pita hitam di lengan sebagai tanda berkabung. Lalu dialog antara News Anchor SCTV, Ira Koesno dengan Sarwono Kusuatmadja yang tak terkontrol. Saat itu, Ira bertanya pada Sarwono mengenai rencana reshufle kabinet yang akan dilakukan oleh Soeharto, Sarwono memberikan tanggapan yang dinilai kontroversial, yakni dengan istilah "cabut gigi". Menurut Suwarno, ketiga gigi seseorang sakit, solusinya dalah mencabut gigi, bukan menambah gigi.
Sejak saat itu, jurnalis-jurnalis mulai membangkang. Mereka menjadi bagian dari para pejuang reformasi. Berita-berita kritis yang dibuat para jurnalis membangkitkan semangat seluruh lapisan masyarakat untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatannya. Mereka menuntut adanya reformasi. Perjuangan mereka sulit dikendalikan keluarga Cendana karena begitu kompleks. Akhirnya, 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan mundur dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia.
Profesionalisme dan Energi Jurnalisme
Pers sebagai unsur ke-empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, benar-benar melaksanakan tugasnya. Pers berhasil menjadi bagian dari terwujudnya demokrasi di Indonesia. Setelah reformasi, kebabasan pers pun dijunjung tinggi.
Jurnalisme tidak pernah berubah, meski berada dalam iklim yang tidak kondusif. Para jurnalis di masa reformasi menegaskan bahwa menjadi wartawan di era yang begitu mengekang dan otoriter tidak berarti harus meruntuhkan nilai-nilai jurnalisme dan tunduk pada keadaan.
Mereka tidak mau mengorbankan profesionalismenya demi kepentingan pemilik dan penguasa. Menurut Andreas Harsono yang pernah belajar langsung dari Bill Kovach, profesioanisme wartawan ada dua hal.Â
Pertama, seperti kata Kovach, adalah sikap indenpendensi wartawan dari setiap narasumbernya. Prinsip proesionalisme kedua adalah perlindungan terhadap audiens, pengiklan, dan citizen. Menurut Andreas, ketiga unsur tersebut harus dilayani. Tetapi jika terjadi suatu konflik, maka yang harus dilayani paling dahulu adalah publik.
Wartawan-wartawan Indonesia saat itu adalah mereka yang dikaruniai energi jurnalisme. Selama energi jurnalisme mengalir di dalam tubuh wartawan, semua akan baik-baik saja. Ingat hukum kekekalan energi? Â Seperti halnya energi, jurnalisme tidak dapat dimusnahkan. Dia hanya bisa berubah bentuk. Bentuk perjuangan wartawan-wartawan reformasi telah dilakukan dengan berbagai cara seperti yang dijabarkan diatas. Perjuangan itu dilakukan semata-mata demi kepentingan publik atau citizen.