Mohon tunggu...
Muhammad Anwar. HM
Muhammad Anwar. HM Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aku emosional tidak sabaran namun penuh semangat. Ketika terlibat dalam sebuah hubungan aku melempar seluruh diriku di dalamnya. Tak ada yang bisa menghentikanku tak ada satu palang pun yang menghalangiku. Aku akan habis-habisan dan menyukai seseorang yang penuh kasih dan bersemangat. Aku percaya pada kebebasan Aku ingin mencoba semua. Pasokan energiku tak ada matinya. Aku juga senang bertindak seperti ibu bagi pasangan. Aku tak romantis tetapi lebih tertarik pada tindakan. apa yang aku lihat akan aku dapatkan. Aku tak mau repot meladeni seseorang yang malu-malu kucing, manis, pura-pura sopan dan memikat hati. Daya tarik fisik penting untukku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dampak Pendidikan Karakter Terhadap Keberhasilan Akademik

13 November 2012   16:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:27 3067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan kecerdesana emosi seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Sebuah buku berjudul Emotional Intelligence and School Success mengompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan lanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).

Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, kesulitan bergaul (kuper) dan tidak lapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah lapat dilihat sejak usia prasekolah, dan kalau tidak ditangani akan ter-bawa sampai usia dewasa. Sebaliknya, para remaja yang berkarakter tau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-lasalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, arkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik pada tahap selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu, Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya baik karena kesibukan maupun karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Meskipun demikian, kondisi ini dapat ditanggulangi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.

Permasalahan selanjutnya adalah kebijakan pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, walaupun belakangan ini pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan hangat. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya, sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa "bodoh" karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah "memvonis" anak-anak yang tidak masuk "10 besar"., sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah "dibunuh" rasa percaya dirinya.

Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stres berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.

Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Ingatlah kata-kata bijak dari pemikir besar dunia berikut Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal yaitu "education without characrter" (pendidikan tanpa karakter). Dr. Martir Luther King pernah berkata: "Intelligence plus character....that is the goa of true education" (Kecerdasan plus karakter....itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Theodore Roosevelt juga mengatakan: "The educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat). (Diadaptasika dari tulisan Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA) dan Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation) "Dampak Pendidikan Karakte terhadap Keberhasilan Akademik").

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun